“Ada dua cara menjalani hidup, yaitu menjalaninya dengan keajaiban-keajaiban atau menjalaninya dengan biasa-biasa saja“ (Albert Einstein). "Jika ingin menjadi seorang peneliti, maka jadilah peneliti yang menapak bumi jangan jadi peneliti yang hanya pintar di atas meja".

Senin, 26 Maret 2012

EMOTIONAL QUOTIENT (EQ)

Teman-teman sebetulnya tulisan ini adalah tulisan yang telah lama dibuat (Sabtu, 28 Februari 2009) dan dimuat pada anitnita29@blogspot.com. Dikarenakan blog tersebut sudah jarang dibuka, untuk arsip, maka saya pindahkan ke blog ini ^_^. selamat membaca

Jika kita mendengar kata EQ maka akan timbul beberapa pertanyaan, seperti : Apa bedanya dengan IQ, apakah kecerdasan seseorang dinilai dari IQ bagaimana dengan EQ? Apakah IQ lebih penting dari pada EQ ? Sebetulnya mana yang lebih penting dan dominan dalam diri manusia, IQ atau EQ? Mengapa orang cenderung melihat dan menilai sesuatu dengan angka ? Contoh, terkadang sering ada orang tua yang marah ketika melihat rapot anaknya, “bernilai merah” Lalu dia berkata : (marah), Kenapa nilai rapotmu merah ? Dasar Bodoh !!!!!!!!. Apakah perkataan tersebut benar dan pantas diucapkan ??? Hanya karena nilai jelek, seorang anak di cap bodoh, padahal belum tentu, karena bisa jadi anak tersebut memliki potensi lain diluar akademis.
Untuk dapat menjawab pernyataan tersebut, kita harus dapat memahami terlebih dahulu pentingnya IQ (kecerdasan intelektual) dan EQ (kecerdasan emosi ) pada diri manusia. Menurut Goleman (1995) dalam Hastuti (2008), adanya fakta kekerasan, pembunuhan, kemarahan dan vandalism disebabkan oleh emosi dalam diri seseorang, Goleman menyebutkan bahwa hal tersebut terjadi disebabkan oleh apa yang terjadi dalam sel otak, yang mengoperasikan apa yang kita pikir, bayangkan dan impikan. Untuk itu dia membandingkan tingkat kemampuan emosi mereka yang memiliki IQ tinggi, sedang, dan rendah, apakah dengan mengubah/meningkatkan IQ kita bisa meningkatkan kesejahteraan diri?. Dari kajiannya tersebut diperoleh hasil bahwa, yang memainkan peranan penting bagi kesejahteraan individu adalah bukan terletak pada IQ namun pada apa yang disebut dengan emotional intelligence, yaitu kemampuan control diri, ketekunan, kegigihan, dan kemampuan motivasi diri. Filosofi Aristoteles :
Semua orang bisa marah, yang terpenting adalah bagaimana caranya kita marah pada orang yang tepat, dengan derajat kemarahan tepat, waktu yang tepat, tujuan sesuai dan dengan cara yang tepat.
Diperlukan suatu kecerdasan emosi pada setiap orang, kecerdasan untuk melatih emosi, agar dapat memperoleh kebajikan, memandu cara berfikir, menilai diri kita dan tahu bagaiman cara bertahan hidup. Kecerdasan adalah kemampuan untuk menyelesaikan berbagai masalah dalam kehidupan dan dapat menghasilkan berbagi produk dan jasa yang berguna dalam berbagai aspek kehidupan. Manusia memiliki tujuh kecerdasan dengan kadar kecerdasan yang bervariasi, meliputi : kecerdasan musical, kinestetik tubuh, visio-spasial, logika matematika, bahasa, interpersonal, dan kecerdasan intrapersonal. Berbeda dengan konsep IQ, IQ hanya melibatkan aspek kemampuan logika, bahasa, matematika dan spasial.
EQ, merupakan keterampilan untuk menciptakan hubungan yang optimal dengan diri sendiri dan dengan orang lain, yang mencakup kesadaran akan emosi diri, mengekspresikan emosi, mengelola emosi diri, dan orang lain. Terdapat tiga model EQ, yaitu Knowing yourself (memahai dan mengelola perasaan), Choosing yourself (berhati-hati dalam melakukan pilihan dalam hidup, bertanggungjawab atas pilihan, dan menerima hasilnya) dan Giving yourself (memahami emosi orang lain dan membina hubungan yang baik, menetapkan tujuan secara bijaksana).
Semenjak IQ diterapkan dalam pendidikan formal, kecerdasan intelektual anak meningkat 20 kali lipat, anehnya, semakin meningkat IQ maka EQ semaki rendah. Degan demikian EQ memegang peranan penting dalam kehidupan, bahkan EQ menyumbang 80 % bagi keberhasilan hidup dimasa dewasa sedangkan IQ hanya 20 % (Amstrong, 2002 dalam Hastuti, 2008).
Hal ini dapat dimengerti dalam kehidupan sehari-hari, terkadang sering ada orang yang memiliki IQ tinggi , dia pintar dalam belajar terutama dalam berhitung, akan tetapi dia tidak begitu dapat mengekspresikan emosinya, cenderung serius, berbicara seperlunya dan tidak merespon sesuatu yang dia anggap tidak penting baginya, tetapi ada juga orang yang berkarakter sebaliknya. Manusia tidak ada yang sempurna, tapi kita harus berusah menjadi yang terbaik, dengan cara mampu menyeimbangkan antara kemampuan IQ dan EQ.

Pustaka :
Hastuti, Dwi. 2008. Pengasuha : Teori Dan Prinsip serta Aplikasinya di Indonesia. Bogor : Departemen Ilmu Keluarga Dan Konsumen. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor

Tidak ada komentar: