“Ada dua cara menjalani hidup, yaitu menjalaninya dengan keajaiban-keajaiban atau menjalaninya dengan biasa-biasa saja“ (Albert Einstein). "Jika ingin menjadi seorang peneliti, maka jadilah peneliti yang menapak bumi jangan jadi peneliti yang hanya pintar di atas meja".

Sabtu, 07 Januari 2012

PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KONSERVASI; SENEPIS SEBAGAI AREAL KONSERVASI HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris) (Bukti Nyata Pengelolaan Hutan Berbasis Konservasi di Wilayah Sumatera)

Hutan merupakan sebuah megabiodiversity, dengan beranekaragam jenis flora dan fauna yang memiliki keunikan, ada yang bersifat endemik, langka, hampir punah bahkan punah. Menurut International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), saat ini di hutan Indonesia terdapat beberapa spesies flora dan fauna yang tergolong Critically Endangered, dalam keadaan kritis dan perlu dilestarikan agar tidak punah. Spesies-spesies tersebut adalah Harimau sumatera (Panthera tigris), Badak jawa (Rhinoceros sondaicus), Kantong semar (Nepenthe sp), Pohon keruing (Dipterocarpus grandiflorus, pohon tengkawang (Shorea palembanica) dll.
Adanya izin pemanfaatan hasil hutan di hutan alam menyebabkan spesies-spesies tersebut terancam punah. Pengelolaan hutan yang ada saat ini belum sepenuhnya melakukan upaya konservasi. Adanya klaim dari berbagai stakeholder baik dalam dan luar negeri terhadap pentingnya pelestarian beberapa spesies, menimbulkan dilema yang cukup pelik bagi para pengusaha, disatu sisi mereka ingin mencapai target produksi tapi disisi lain harus melakukan upaya konservasi. Sehingga Pengelolaan hutan secara lestari (Sustainable Forest Management/SFM) dapat memberikan manfaat terhadap konservasi biodiversity, melalui program alokasi areal konservasi dan pengelolaan HCVF (High Conservation Value Forest)
Salah satu bukti nyata pengelolaan hutan berbasis konservasi adalah adanya salah satu unit manajemen SFM yang berperan dalam konservasi Harimau Sumatera di wilayah Sungai Senepis. Senepis merupakan wilayah yang berada dalam kawasan izin pemanfaatan hasil hutan sebuah perusahaan di Provinsi Riau. Senepis ditetapkan oleh Menteri kehutanan sebagai wilayah konservasi Harimau Sumatera melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. S.05/Menhut-VII/2006 pada tanggal 3 Januari 2006, mengingat menurut laporan dari PKHS (Pusat Konservasi Harimau Sumatera atau Pusat Konservasi Harimau Sumatera), saat ini diperkirakan bahwa jumlah total harimau 15-19 individu mendiami hutan Senepis.

catatan: naskah tulisan ini tertuang dalam sebuah laporan ITTO


Senin, 02 Januari 2012

SEKILAS TENTANG PERUBAHAN IKLIM DAN SFM

Kepedulian dunia terhadap perubahan iklim dan pengelolaan hutan lestari dalam kegiatan pembangunan sebenarnya telah dimulai sejak Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro, Brasil bulan Juni 1992. Pada konferensi tersebut telah dibuat dua dokumen  kesepakatan yang mengikat secara hukum (legally binding), salah satunya adalah Konvensi Kerangka Perserikatan Bangsa-Banga (PBB) tentang perubahan iklim atau yang dikenal dengan United Nation Framework  Convention on Cilamte Change (UNFCCC) (Murdiyarso D, 2003), dalam dokumen kesepakatan tersebut terkandung sebuah makna bahwa pengelolaan hutan secara lestari (Sustainable Forest Management/SFM) merupakan suatu mekanisme penting dalam pengurangan emisi karbon. Meskipun sesungguhnya ilmu pengetahuan yang ada telah sejak lama memberikan konsep-konsep pengelolaan hutan secara lestari mulai dari pengaturan hasil, konsep hutan multiguna, konsep ekosistem dan lain sebagainya.
Praktek pengelolaan hutan secara empiris khususnya di hutan alam Indonesia sampai saat ini masih belum dapat mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari. Hal ini dapat terlihat dari masih rendahnya persentasi hutan yang bersertifikasi, yaitu hanya 32, 38% dari luasan total hutan alam yang di kelola  (22.710.256 ha), dengan kata lain luasan hutan alam yang telah bersertifikasi hanya 7.353.674 ha. Jika dilihat dari jumlah unit usaha, sejak tahun 2002 sampai triwulan II tahun 2011 saat ini telah ada 140 unit manajemen usaha hutan alam yang telah melakukan sertifikasi secara mandatory, yakni 31 (4.499.995 ha) unit manajemen diantaranya memperoleh sertifikasi sangat baik/baik 35 (3.307.789 ha) unit manajemen memperoleh sertifikasi sedang dan sisanya sebanyak 74 (7.467.699 ha) unit manajemen  memiliki sertifikasi yang sudah tidak berlaku. Selain sertifikasi mandatory juga terdapat beberapa perusahaan yang  melakukan sertifikasi secara voluntary, yaitu sebanyak 6 unit manajemen dengan luas 1.102.063 ha .  Sedangkan untuk unit manajemen usaha hutan tanaman dari 209 unit manajemen (luas total 9.963.770 ha) yang melakukan pengelolaan, hanya 90 unit manajemen usaha saja yang telah melakukan sertifikasi secara mandatory dengan luasan 4.914.301 ha atau 49,32% dari luasan total. Dari 90 unit usaha manajemen hutan tanaman tersebut 19 unit (2.499.280 ha) dinyatakan bersertifikasi baik dan sisanya 71 unit (2.415.021 ha) sertifikasi yang dibuat sudah tidak berlaku. Unit manajemen usaha hutan tanaman industry yang telah memiliki sertifikat voluntary hanya 2 unit usaha dengan luasan total 419.829 ha(Dirjen BUK, 2011).
Permasalahan tidak terpenuhinya hutan lestari tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: tata kelola dan regulasi yang tidak mampu menumbuhkan perilaku pengusahaan hutan yang baik dan birokrasi yang belum efisein; Ketidakpastian lahan (tenurial dan tata ruang); Faktor manajerial; motif ekonomi yang ada tidak disertai dengan kemauan untuk dapat mempertahankan ketersediaan hutan dalam waktu jangka panjang (Dirjen Planologi, 2010). Selain faktor penyebab juga terdapat beberapa kendala yang menjadikan rendahnya motivasi pengelola hutan untuk melaksanakan pengelolaan hutan lestari antara lain: aspek teknis, manajemen dan finansial.
Pengelolaan hutan yang belum lestari dapat memicu terjadinya peningkatan angka laju deforestrasi dan degradasi ekosistem. Deforestrasi dan degradasi tersebut mempuyai implikasi terhadap hilangnya berbagai produk (barang dan jasa ekologis hutan) yang penting untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat saat ini maupun masa yang akan datang. 

Bahan Bacaan:
[Direktorat Jendral Bina Usaha Kehutanan]. 2011. Data Reales Ditjen BUK Triwulan II. http://www.dephut.go.id/files/ReleaseBUK_TriwulanI_2011_0.pdf [20 Oktober 2011].
[Dirjen Planologi Kehutanan]. 2010. Prosiding Seminar Dampak Perubahan Peruntukan Dan Fungsi Kawasan Hutan dalam Revisi RTRWP Terhadap Neraca Karbon dalam Kawasan Hutan.
Murdiyarso, Daniel. 2003. Sepuluh Tahun Konvensi Perubahan Iklim. Jakarta: Kompas.

Minggu, 01 Januari 2012

PENILAIAN POHON

Nilai pohon yang dimaksudkan disini adalah nilai dari satu batang pohon yang berdiri dalam suatu tegakan. Sebagian orang biasanya menilai sebuah pohon ketika pohon tersebut telah ditebang dan dikonversi kedalam bentuk lain sesuai dengan peruntukkannya. Jarang sekali orang paham bagaimana menilai sebuah pohon ketika pohon tersebut masih dalam keadaan berdiri, apakah betul, nilai pohon berdiri sesungguhnya untuk sebuah jenis pohon itu sama dengan harga jualnya? Dengan adanya tulisan ini, penulis ingin sedikit berbagi pemahaman terkait penilaian pohon, meskipun penulis sadari betul ketika tulisan ini dibuat, penulis masih dalam tahap belajar.
 
Arti sebuah pohon bagi seorang produsen (pemilik kayu) dan konsumen (pembeli kayu), memiliki arti yang berbeda. Bagi seorang produsen pohon tidak hanya sebagai sebuah komoditi yang bisa dijual tetapi juga sebuah modal dalam bentuk persediaan kayu (capital growing stock), sehingga produsen akan menilai pohon tersebut sebagai produk yang dapat dihasilkan/dipanen saat ini dan yang akan datang, sehingga produsen akan menghitung nilai pohon tersebut sebagai nilai pohon yang akan diperoleh ketika masak tebang dikurangi denga biaya pengelolaan hutan yang dihitung saat ini. Sedangkan bagi seorang konsumen, pohon merupakan sebuah bahan mentah untuk kegiatan produksinya. Konsumen menghitung nilai pohon berdasarkan besarnya nilai produk yang dihasilkan oleh satu pohon tersebut dikurangi dengan biaya pemanenan, pengolahan dan distibusi pasar.
Dalam penilaian pohon terdapat dua cara yang sering digunakan, yaitu:
1. Penilaiain pohon secara keseluruhan
2. Penilaiam atas dasar kayu bulat (logs)

Penilaian pohon secara keseluruhan adalah penilaian pohon atas dasar pohon sebagai unit perhitungan pohon berdiri yang diklasifikasikan menurut bentuk (seperti angka bentuk), diameter, percabangan dll. Penilaian ini lebih bersifat teknis dimana nilai pohon yang diperoleh adalah nilai pohon hasil pengukuran dan berdasarkan kepada perhitungan volume, kualitas tumbuh, ukuran dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Sebagai ilustrasi: Dari sebuah pohon dapat dihasilkan berbagai macam jenis sortimen kayu bulat. Sortimen bagian pangkal pohon biasanya sortimen yang memiliki kualitas paling bagus dan memiliki nilai volume yang besar. Bagian pangkal inilah yang sering dijadikan sebagai objek penilaian, tanpa memperhatikan sortimen lainnya. Dalam hal ini sortimen pangkal dan sortimen lainnya dianggap memiliki korelasi yang sangat signifikan, sehingga nilai pohon berdiri untuk sebuah pohon dapat dinilai dari sortimen pangkalnya saja. Kelemahan menggunakan cara ini terletak pada penyederhanaan struktur kualitas kayu bulat pada setiap sortimen sehingga jika keragaman struktur kayu bulat cukup besar tidak dapat dijelaskan oleh ukuran contoh kecil dan ketilitiannyapun menjadi berkurang.

Penilaian pohon berdasarkan atas metode kayu bulat adalah menilai pohon berdasarkan nilai setiap sortimen kayu yang dihasilkan. Perhitungan dengan metode ini memiliki ketelitian yang cukup tinggi. Nilai pohon dihitung dari nilai produk yang dihasilkan, sehingga dalam penilaian ini kita akan berhitung kebelakang, dengan memperhatikan setiap step yang dilalui untuk menghasilkan produk dengan ukuran tertentu (dari produk yang dihasilkan sampai kepada nilai pohon berdiri ketika belum ditebang), Secara umum perhitungan yang digunakan dalam metode ini adalah perhitungan menggunakan metode nilai sisa turunan. Contoh kasus yang biasa dihitung adalah nilai pohon untuk produk kayu gergajian. Dalam metode ini terdapat empat tahapan penilaian pohon, yaitu:

Penentuan nilai kayu gergajian
Sejumlah n sortimen degan kualitas tertentu digergaji dan menghasilkan meter kubik kayu gergajian dengan kualitas tertentu. Untuk menghitung nilai ini diperlukan informasi: Harga jual kayu gergajian berdasarkan kualitas/dimensi (Rp/m^3) dan distribusi kualitas kayu gergajian (%). Nilai kayu gergajian adalah jumlah dari hasil perkalian antara distribusi kualitas kayu gergajian (%) dengan harga jual kayu gergajian untuk setiap kualitas kayu gergajian.

Penentuan nilai kayu bulat skala pabrik
Nilai ini diperoleh dari nilai kayu gergajian yang dihasilkan dari diameter dan kualitas tertentu (hasil perhitungan tahap pertama) dikurangi dengan biaya penggergajian dan biaya yang dikeluarkan di lumber yard.

Penentuan nilai kayu bulat skala log
Penentuan nilai ini diperoleh dari nilai kayu bulat skala pabrik dikalikan dengan rendemen, sehingga akan diperoleh nilai kayu bulat skala log (m^3 kayu gergajian).

Penentuan nilai pohon
Pada tahapan diatas nilai yang diperoleh masih dalam satuan m^3 kayu gergajian sehingga untuk memperoleh nilai kayu bulat dalam bentuk pohon berdiri perlu dilakukan perhitungan secara convertion return, yaitu nilai kayu bulat skala log kayu gergajian dikurangi dengan biaya pemanenan total dan akan diperoleh nilai log kayu bulat. Selanjutnya nilai pohon berdiri diperoleh dari hasil perkalian anatar convertion return dengan penduga volume kayu gergajian yang dihasilkan.

Jadi sesungguhnya harga jual kayu merupakan nilai pohon tidak dalam arti sebenarnya atau merupakan hasil dari pendugaan secara kirologi.