“Ada dua cara menjalani hidup, yaitu menjalaninya dengan keajaiban-keajaiban atau menjalaninya dengan biasa-biasa saja“ (Albert Einstein). "Jika ingin menjadi seorang peneliti, maka jadilah peneliti yang menapak bumi jangan jadi peneliti yang hanya pintar di atas meja".

Kamis, 23 Juni 2011

PERAN BALITBANG KEHUTANAN DALAM PENGEMBANGAN BIOENERGI (Domain yang menjadi milik kehutanan haruslah dikuasai kehutanan)


Semangat dan program bioenergi di Badan Litbang sesungguhnya sudah ada sejak dulu namun mengalami pelemahan atau dapat dikatakan ”seperti jalan ditempat” sehingga diperlukan upaya-upaya konkrit dan terobosan-terobosan untuk mengakselerasi pengembangannya. Walaupun harus kita akui, dalam beberapa tahun belakangan ini telah banyak capaian yang kita peroleh dalam penelitian baik dalam aspek poduksi, distribusi, bisnis dan risetnya. Capaian itu secara keseluruhan paling tidak telah memberikan pengalaman berharga sekaligus pembelajaran, sehingga bila kita duduk berdiskusi bersama maka diharapkan adanya solusi dalam mengatasi masalah yang ada. Peran Badan Litbang dalam pengembangan bioenergi sangatlah besar, mengingat sektor kehutanan merupakan sektor hulu yang menangani sumber bahan baku. Berdasarkan Mapping Potensi Dan Penyediaan Bahan Baku bioenergi Nasional yang disampaikan dalam seminar Bioenergi Indonesia: Revitalisasi Program Bioenergi Nasional, saat ini terdapat beberapa tanaman penghasil bioenergi yang potensial yaitu kelapa sawit, kelapa, jarak pagar, karet, nyamplung, kosambi, bintaro, lontar, limbah hasil hutan, limbah hasil pertanian, singkong, jagung, sagu, aren, tebu, padi, nipah, sorgum, makroalga dan mikroalga. Berdasarkan potensi-potensi tersebut 40 % diantaranya berasal dari sektor kehutanan, dan sebetulnya potensi yang berasal dari sektor ini di alam diperkirakan masih cukup banyak, hanya saja penelitian kearah sana masih panjang.  Kedepannya Badan Litbang dapat mencari dan melakukan inventarisasi kembali terhadap komoditi kehutanan yang memiliki potensi sebagai bahan baku bioenergi, sehingga kita akan memiliki data statistik yang jelas mengenai jenis komoditi, jumlah potensi, penyebaran komoditi dll. Domain yang menjadi milik kehutanan haruslah dikuasai oleh kehutanan baik hulu maupun hilir, sehingga perjuangan badan litbang kedepan akan sangatlah panjang.
Penelitian-penelitian terkait bioenergi yang ada perlu di ramu kembali secara matang, penelitian-penelitian tersebut tidak hanya sebatas mencari dan mengetahui suatu komoditi mengandung bioenergi saja, kemudian ditinggalkan tetapi harus secara menyeluruh. Sebagai contoh penelitian tentang nyamplung, masalah yang ada saat ini adalah biodiesel yang berasal dari nyamplung belum ekonomis, hal ini dikarenakan biaya produksi yang tinggi dan daya beli yang rendah. Kendala utamanya ada di teknologi, pertama: industri pengolahan biodisel nyamplung di Banyuwangi mengeluhkan mahalnya dan sulitnya mencari bahan baku methanol untuk esterifikasi, methanol yang telah dipakai tidak dapat digunakan kembali karena % kandungan yang berbeda dapat mempengaruhi hasil akhir biodiesel. Kedua, biodiesel yang dihasilkan dari nyamplung masih banyak yang meragukan kualitasnya, para konsumen banyak yang mengeluhkan bau biodiesel yang tidak sedap. Ketiga kajian secara ekonomi terkait dengan industri pengolahan biodiesel nyamplung masih menunjukan angka ketidak layakan, akan tetapi memungkinkan jika hanya sebatas biokerosin, sayangnya biokerosin yang dihasilkan masih  memerlukan beberapa penelitian secara fisik dan kimia, mengingat kualitas biokerosin yang dihasilkan masih memiliki daya viskositas yang tinggi sehingga daya kapilaritasnya rendah, selain itu bau kerosin yang dihasilkan sangat menyengat. Penelitian terkait nyamplung ini merupakan contoh kecil dari permasalahan bioenergi yang kita hadapi, dengan gambaran tersebut diharapkan adanya tekonologi baru yang mampu mereduksi kendala yang ada  sehingga dapat dihasilkan kualitas biodisel yang baik. Jika teknologi yang ada telah tepat dan mampu menghasilkan kualitas biodisel yang baik, barulah kita mengembangkan kearah yang selanjutnya yaitu pengembangan potensi dan pemasarannya.
Peluang Balitbang dalam hal ini sangatlah besar, selain karena kita merupakan domain pemegang bahan baku bioenergi, adanya peraturan pemerintah melalui Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional yang menetapkan target penyediaan bahan baku energi menyatakan bahwa penyediaan energi nasional harus dipenuhi melalui pemanfaatan energi baru dan energi terbarukan sebesar 17% pada tahun 2025. Terlebih lagi dengan dibentuknya Ditjen EBTKE, telah dicanangkan Visi Energi 25/25, yaitu inisiatif untuk pencapaian target pangsa energi baru terbarukan yang lebih tinggi dalam bauran energi nasional, yaitu sebesar 25% pada tahun 2025. Visi Energi 25/25 menekankan pada 2 (dua) hal penting, yaitu upaya “konservasi energi” di sisi pemanfaatan untuk menekan laju penggunaan energi nasional, dan upaya “diversifikasi energi” di sisi penyediaan dengan mengutamakan energi baru terbarukan. Peraturan tersebut secara tersirat menghimbau untuk dapat melakukan penurunan terhadap konsumsi bahan bakar fosil dengan memanfaatkan potensi tanaman bioenergi yang ada, kehutanan dan pertanian sebagai pihak yang bergerak dalam bahan baku perlu melakukan konservasi energi dengan mengembangkan budidaya tanaman-tanaman penghasil bioenergi, agar pemanfaatan menjadi lebih maksimal. Jika potensi tersebut dimaksimalkan, diperkirakan Indonesia akan mampu menghemat sekitar 700 ribu ton elpiji atau setara dengan 900 juta liter minyak tanah. Balitbang memiliki andil besar dalam visi energi 25/25, Jadi??? Apakah kita akan memulai semuanya setelah terlambat???? Tentu Tidak!!! Sekaranglah saatnya kita untuk berkarya, saat ini tidak perlu 100 cukup dengan 25/25 saja.

Rabu, 01 Juni 2011

MAKALAH : KAJIAN EKONOMI DAN KEBIJAKAN TANAMAN OBAT INDONESIA


PENDAHULUAN
Pada tahun 1999, pemerintah telah mencanangkan “Indonesia Sehat 2010” sebagai inspirator dalam pembangunan nasional di bidang kesehatan, yang misi dan sasarannya antara lain mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat. Indonesia saat ini memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap obat impor dan perlu dicarikan subtitusinya dengan produk industri di dalam negeri. Salah satu program untuk mencapai sasaran tersebut adalah dengan meningkatkan penggunaan pengobatan tradisional yang aman dan bermanfaat baik secara tersendiri maupun terpadu dalam pelayanan kesehatan. Pengobatan secara tradisional tersebut dengan cara mengkonsumsi obat herbal dan jamu atau obat-obat lainnya yang bersal dari tanaman obat.
Dengan demikian  pengembangan tanaman obat memiliki arti penting dan strategis. Terlebih lagi adanya trend global dikalangan masyarakat lokal dan global yang menuntut pangan dan produk kesehatan yang aman dengan slogan “Back To Nature” menunjukan pertumbuhan yang semakin meningkat, sehingga peluang perkembangan pasar tanaman obat diperkirakan akan meningkat.
Sebagaimana telah kita ketahui bersama Indonesia merupakan negera yang megadiversity untuk tumbuhan obat di dunia. Tumbuh-tumbuhan obat tersebut sebagian besar berasal dari wilayah hutan tropika. Diperkirakan di dalam kawasan hutan wilayah Asia sekitar 70 – 90% tumbuhan obat berada di berbagai wilayah di Indonesia, dan dari sekitar 40.000 jenis tumbuhan obat di dunia, sekitar 30.000 jenis diantaranya terdapat dalam kawasan hutan Indonesia. Jenis-jenis tersebut diantaranya seperti pasak bumi (Eurycoma longifolia), cendana (Santalum album),pinang (Areca catechu), purwoceng (Pimpinella pruatjan), kayu angin (Usnea misaminensis), pulasari (Alyxia reinwardtii), bidara laut (Strychnos ligustrina), pule (Alstonia scholaris), dan pule pandak (Rauwolfia serpentina) (Zuhud, 1991). Namun kekayaan yang melimpah tersebut masih belum dapat dimanfaatkan secara optimal. Pemanfaatan obat tersebut terkandala oleh beberapa faktor yaitu faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya. Faktor yang kerapkali menjadikan sorotan utama adalah faktor ekonomi dan kebijakan, dimana selain dapat meningkatkan kesehatan masyarakat, tanaman obat pun harus dapat dijadikan sebagai penyumbang devisa negara dan sekaligus dapat mensejahterakan masyarakat. Sehingga untuk dapat manfaat yang optimal dari tanaman tersebut perlu dilakukan beberapa kajian yang menyeluruh tentang tanaman obat dari hulu hingga kehilir dari beberapa bidang ilmu, dan salah satunya ilmu ekonomi agar dapat dijadikan masukan dalam suatu kebijakan.


KONDISI PASAR TANAMAN OBAT INDONESIA
   
Pasar bahan baku tanaman obat yang dibutuhkan oleh pabrik, dibedakan atas rimpang dan simplisia. Demand dan kebutuhan akan jens tanaman obat yang diperlukan oleh industri sangat variatif. Hampir semua jenis tanaman obat dibutuhkan sebagai bahan baku pembuatan obat tradisional/jamu oleh berbagai industri obat tradisional Indonesia.
Namun demikian, ada beberapa jenis tanaman obat budidaya yang dibutuhkan industri obat tradisional dalam jumlah besar dan jenis-jenis tersebut tergolong mudah dikembangkan dibawah tegakan pohon (dipaduserasikan dengan sektor kehutanan), antara lain jahe (Zingiber officinale Roxb.) sebesar 5 000 ton/tahun, kapulogo (Ammomum cardamomum Auct.) 3 000 ton/tahun, temulawak (Curcuma aeruginosa Roxb.) 3 000 ton/tahun, adas (Foeniculum vulgare Mill.) 2 000 ton/tahun, kencur (Kaempferia galanga L.) 2 000 ton kering/tahun, kunyit (Curcuma domestica Val.) 3 000 ton kering/tahun dan 1 500 ton basah/tahun (Heartwood, 2007).
Berbagai jenis biofarmaka budidaya yang dibutuhkan oleh pabrik PT Sidomuncul, PT Air Mancur, PT Indo Farma, Dayang Sumbi, CV Temu Kencono, Indotraco, PT Nyonya Meneer, Herba Agronusa dan Jamu Jenggot, merupakan sebagian dari serapan simplisia biofarmaka oleh 10 industri besar dan 12 industri menengah obat tradisional di Indonesia. Di pasar domestik, rimpang temulawak (Curcuma aeruginoso Roxb.) dan rimpang jahe (Zingiber officinale Roxb.) merupakan dua jenis biofarmaka budidaya yang banyak dipasok oleh petani untuk industri obat tradisional, baik industri besar maupun menengah, yaitu rata-rata 310 870 kg/tahun dan 272 854 kg/tahun (Heartwood, 2007)
Menurut Heartwood (2007), di Indonesia, jahe (Zingiber officiniale Rosc.) adalah komoditas yang memiliki demand cukup tinggi baik di pasar domestik dan luar negeri, disesuaikan dengan bentuk, ukuran dan warna rimpangnya. Tiga jenis jahe yang berprospek adalah jahe putih besar (jahe gajah), jahe putih kecil dan jahe merah. Diantara ketiga jenis jahe tersebut, jahe gajahlah yang memiliki demand terbesar, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Demand jahe dalam negeri terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan trend peningkatan konsumsinya, yaitu dengan pertumbuhan 18,71 % setiap tahunnya. Demand jahe gajah di pasar domestik, seperti catatan Koperasi BPTO (Kobapto) Kab. Tawangmangu, Jawa Tengah, berkisar 5 000 ton per tahun. Hampir semua industri obat tradisional di Jawa Tengah membutuhkan jahe gajah sebagai bahan baku produksinya, seperti PT Sidomuncul membutuhkan sekitar 15 ton per bulan, PT Air Mancur 15 ton per bulan, CV Temu Kencono 10 – 12 ton per tahun dan PT Indotraco 40 ton per bulan. Sedangkan menurut Survey SUBDIT ANEKA TANAMAN (2001), jumlah kebutuhan jahe dalam negeri adalah 36.200 kg/bulan. Untuk kebutuhan lokal, demand komoditas jahe gajah yang meningkat seiring dengan semakin banyaknya pabrik jamu, farmasi, dan kosmetik banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku obat tradisional (jamu), bahan makanan, minuman dan kosmetika.
Namun demikian, kenyataan di lapang menunjukkan bahwa agribisnis biofarmaka tidak berkembang dengan baik dan merata di seluruh Indonesia, karena petani dan pelaku usaha kurang memahami kebutuhan pasar domestik dan ekspor yang menginginkan produk siap pakai yang telah diolah. Kurangnya pemahaman tersebut karena menjual biofarmaka memang tak semudah menjual tanaman hortikultura lainnya, seperti sayur- sayuran atau buah-buahan. Disamping itu, keengganan petani untuk mengusahakan biofarmaka karena demand nya relatif belum semahal komoditas sayur-sayuran ataupun buah-buahan dan diantara ratusan jenis yang diperlukan industri obat tradisional hanya sedikit tanaman yang biasa dibudidayakan petani, seperti kencur di Nogosari dan jahe emprit di Ampel-Boyolali. Sebagai dampak dari kondisi diatas adalah belum/tidak terpenuhinya jumlah pasokan yang diminta oleh industri obat tradisional akan beberapa komoditas biofarmaka yang diperlukan, baik yang tumbuh liar maupun tanaman yang telah dibudidayakan.
Sebagai contoh, komoditas pegagan (Centella asiatica), herba liar yang tumbuh di pekarangan, kebun atau dibawah tegakan hutan, yang dibutuhkan pabrik lokal 25 ton per tahun hanya sanggup dipasok sebesar empat ton per tahun. Tidak hanya tanaman liar yang masih diburu dari alam bebas, beberapa biofarmaka yang telah dibudidayakan pun banyak yang belum mampu memenuhi permintaan pasar domestik. Jahe merah dan jahe emprit, biofarmaka yang selama ini telah dibudidayakan, yang dibutuhkan industri obat tradisional sebanyak 250 ton per minggu tidak dapat terpenuhi dari pasar domestik sehingga perlu dipasok dari pasar luar negeri yaitu melalui impor dari negara Cina. Komoditas adas yang kebutuhan nasionalnya mencapai 2000 ton per tahun, juga masih dipenuhi dari impor. Kencur (Kaempferia galanga L.), yang termasuk salah satu komoditas budidaya yang belum mampu memenuhi permintaan industri obat tradisional, dengan tingkat kebutuhan nasional 125 – 150 ton per minggu baru dapat terpenuhi sekitar 80 – 100 ton.Demikian pula halnya dengan daun makuto dewa, dari kebutuhan pabrik sebesar satu ton per bulan baru terpenuhi tidak lebih dari 15 – 20 kg/bulan.
Di Jawa Tengah, dengan lebih dari 100 industri obat tradisional besar, menengah dan kecil (rumahan), mengalami masalah yaitu tidak dapat terpenuhinya kapasitas produksi pabrik karena kekurangan bahan baku biofarmaka. Sebagai contoh, PT Indotraco Jaya Utama yang membutuhkan 180 ton kapulaga (Ammomum cardamomum Auct.) gelondong per tahun belum dapat terpenuhi dari pasokan dalam negeri. Padahal, jika melihat potensi di wilayah Priangan Timur, lahan biofarmaka ini cukup luas. Misalnya, di wilayah Kabupaten Ciamis yang memiliki tiga lokasi potensial untuk budidaya biofarmaka, yakni Gunung Sawal, Pangandaran, dan Panjalu. Di Kabupaten Tasikmalaya, terdapat sekitar 62 757 hektare perkebunan rakyat yang bisa digunakan untuk menanam biofarmaka. Juga di Kabupaten Garut, yang memiliki ketinggian mulai 0 hingga 1500 derajat, sangat potensial untuk budidaya biofarmaka. Di Kabupaten Sumedang sendiri, tanaman herbal telah ditanam diatas areal seluas 2 054.2 hektar dengan produksi 9107 ton dengan jumlah petani yang terlibat 9 218 orang. PT Sidomuncul, produsen jamu terbesar di Indonesia, membutuhkan pasokansekitar 650 ton bahan baku biofarmaka (kapulaga, temulawak, temu ireng, kunyit, lengkuas dan lempuyang) setiap bulan. Jumlah ini masih dibawah kapasitas produksi yang mencapai 800 ton per bulan. Selain itu, PT Sidomuncul membutuhkan kunyit (Curcuma domestica Val.) tidak kurang dari lima ton rimpang basah per hari, itupun belum terpenuhi. Komoditas lengkuas (Languas galanga (L) Stuntz.) dan lempuyang (Zingiberis zerumbeti R) yang masing-masing diperlukan sebanyak 15 ton kering setiap bulan namun baru sekitar 30 – 40 ton per tahun yang dipasok oleh para petani mitra. Kebutuhan pabrik akan komoditas kencur (Kaempferia galanga L.) sebanyak 7 – 8 ton per hari atau 100 ton per tahun baru terpenuhi dari kontribusi petani sebanyak 20 ton . PT Jamu Nyonya Meneer yang memproduksi 200 ton jamu bubuk dan empat ton kapsul per bulan, juga mengalami kesulitan dalam memperoleh pasokan. Komoditas kapulaga (Ammomum cardamomum Auct.) misalnya, dari kebutuhan 10 – 15 ton per bulan baru sekitar lima ton yang dapat dipasok secara rutin oleh para petani pemasok.PT Indofarma, yang merupakan badan usaha milik negara di bawah Departemen Kesehatan, juga mengalami kesulitan pasokan bahan baku daun jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) yang membutuhkan minimal 8 – 12 ton per bulan hanya dapat dipasok oleh petani sebanyak empat ton per tahun. Sebagai dampaknya, industri obat tradisional PT Indofarma tersebut hanya mampu memproduksi Prolipid (pil antikolesterol) sebanyak 20 000 botol per bulan atau 1,2 juta butir per bulan dari kapasitas produksi pabrik yang mencapai 50 000 botol per bulan atau target produksi 25 000 – 30 000 botol per bulan sesuai dengan permintaan pasar pada tahun 2001. Demikian pula halnya dengan komoditas daun katuk, yang menjadi bahan baku produk Proasi, yang membutuhkan satu ton per bulan juga tidak dapat terpenuhi (Heartwood, 2001).
Fenomena tersebut diatas menunjukkan bahwa pasar domestik bahan baku dan simplisia biofarmaka masih terbuka sangat lebar. Namun demikian, kita juga tidak dapat menutup mata dengan permasalahan yang dihadapi para petani pemasok, yaitu rendahnya kualitas bahan baku dan simplisia yang dihasilkannya, sementara industri obat tradisional menuntut kualitas yang tinggi agar bahan baku dan simplisia biofarmaka dapat diproses lebih lanjut menjadi obat atau kosmetika.
Untuk menjawab setiap permasalah tersebut, kiranya penting untuk menjadi pemikiran semua pihak, terutama kehutanan. Kehutanan dapat berkontribusi besar dalam penyediaan bahan baku tanaman obat, dengan menggalakan berbagai program sebagai contoh adalah program pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) dengan pola tanam tumpang sari, tanaman obat dengan komoditi kehutanan serta pertanian. Dengan program tersebut tidak hanya dapat meningkatkan kesejahteraan lingkungan tetapi juga masyarakat. Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan pun optimistis bahwa peluang untuk merebut pasar masih ada. Menurut beliau, kita punya lebih banyak jenis tanaman obat indonesia (TOI) dan aneka keragaman hayati. Jadi, perlu ada sinergi antara rakyat di kawasan hutan dan pengusaha. (Media Indonesia, 2010). Sinergitas tersebut dapat terjalin dengan adanya suatu kebijakan yang sesuai.  


KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN

Keunggulan komparatif Indonesia sebagai Negara agraris dan maritim merupakan fundamental perekonomian yang perlu didayagunakan melalui pembangunan ekonomi pertanian sehingga menjadi keunggulan bersaing. Indonesia dapat dikategorikan sebagai negara produsen beberapa komoditas pertanian dunia, namun produk tersebut (segar dan olahan) belum mampu bersaing di pasar internasional. Hal ini disebabkan kurang mampu dalam meningkatkan nilai tambah dengan baik dan terarah, sehingga tingkat pendapatan masyarakat tetap saja rendah.
Kebijakan dan strategi pengembangan tanaman obat diarahkan untuk mewujudkan agrobisnis  dan agroindustri kehutanan yang berdaya saing, berkelanjutan dan mampu meningkatkan kesejahteraan petani melalui peningkatan nilai tambah dan daya saing. Sedangkan untuk jangka menengah kondisi yang diharapkan adalah terpenuhinya kebutuhan konsumsi dan industri baik kuantitas dan kualitas maupun kontiniutas. Untuk itu perlu ditempuh berbagai kebijakan, strategi dan program pengembangan pengolahan dan pemasaran temulawak sebagai berikut  (mengacu pada Roadmap, Deptan, 2005): 
1. Kebijakan
Secara garis besar arah kebijakan yang perlu ditempuh adalah sebagai berikut :
a. Kebijakan Penumbuhan Unit-unit Pengolahan Tanam Obat di perdesaan sekitar Hutan.
Kebijakan penanganan pengolahan tanaman obat dilakukan secara terintegrasi dengan sub sektor hulu. Upaya pengembangan luas areal harus diikuti dengan unit-unit pengolahan hasil dari skala rumah tangga hingga skala kecil dan menengah, sehingga terjadi peningkatan pelaku usaha pengolahan yang pada akhirnya dapat menjadi pengusaha skala Nasional, selain dapat memotivasi petani produsen untuk meningkatkan produksi.
b. Kebijakan Penumbuhan Sentra Produksi Baru.
Paedoagroklimat beberapa wilayah di Indonesia relatif cocok untuk budidaya tanaman biofarmaka, oleh karena itu diversifikasi areal produksi perlu dilakukan. Sehingga konsentrasi areal tidak terjadi di P. Jawa, alternatif lain dapat di lakukan di Sumatera dan Kalimantan, untuk menghindari kejenuhan tanah akibat intensifnya penanaman yang dilakukan.
c. Kebijakan Penerapan Teknologi
Bila dibandingkan dengan negara produsen tanaman obat lainnya, khususnya RRC, maka dapat dikatakan teknologi pengolahan Indonesia sangat tertinggal. Pemerintah dalam hal ini, perlu memberikan prioritas penerapan teknologi yang lebih besar dalam aspek pengolahan, mengingat nilai tambah akibat teknologi tersebut akan meningkatkan nilai jual produk.
Kebijakan pendukung terhadap penerapan teknologi, perlu adanya penelitian yang terintegrasi dari berbagai Departemen untuk mengembangkan industri pengolahan dengan skala Nasional yang mampu bersaing dengan industri luar negeri.
d. Kebijakan Regulasi Ekspor & Impor
Sebagai bentuk proteksi masuknya komoditas impor, maka perlu ada regulasi untuk mencegah atau membatasi masuknya tanaman/produk tanaman obat dari luar negeri. Upaya ini secara tidak langsung akan meningkatkan produksi tanaman obat tersebut, mengingat pasokan hanya dimungkinkan oleh komoditas dalam negeri.
Sejalan dengan hal tersebut di atas, kemudahan ekspor harus diciptakan melalui regulasi (deregulasi) bagi produk olahan atau tanaman obat (simplisia) yang telah memenuhi preferensi konsumen luar negeri (standard mutu pembeli luar negeri).
e. Kebijakan Kemitraan
Pemerintah perlu lebih fokus dalam mengembangkan kemitraan, oleh karena itu perlu ada dukungan lintas sektor untuk memungkinkan kemitraan tersebut berjalan dengan baik. Oleh karena itu, peranan Departemen Perindustrian dalam aspek teknologi, Deparetemen Pertanian dan kehutanan dalam aspek budidaya dan pengolahan, BPPT / LIPI/Litbang dalam aspek penelitian, Depdagri dalam aspek regulasi perlu dan Departemen terkait lainnya perlu membuat program yang konprehensif, terfokus dan berkesinambungan. 

2. Strategi 
Strategi adalah perangkat aksi yang dipergunakan untuk mencapai keluaran (output) yang telah ditetapkan. Strategi didalam mencapai tujuan antara lain adalah sebagai berikut:
a. Penerapan Kaidah-kaidah GAP
    GAP (Good Agriculture Practices) terdiri dari GFP (Good Farming Practices) yang merupakan suatu pedoman dalam melakukan (cara) budidaya yang baik dan benar, GHP (Good Handling Practices) cara penanganan produk yang baik dan benar, merupaka tahapan setelah panen yang dikenal dengan perlakuan pasca panen, GMP (Good Manufacturing Practices) cara pengolahan yang baik dan benar merupakan pedoman dalam dalam melakukan pengolahan yang baik dan benar, GDP (Good Distribution Practices) adalah cara pendistribusian produk setelah selesai diproses. Lebih lanjut, penerapan HACCP (Hazard Analytical Critifcal Contro Points) merupaka upaya untuk menstandardisasi produk olahan untuk memenuhi persyaratan ekspor yang diberlakukan oleh WTO,    Pemerintah bekerjasama dengan swasta perlu berperan sebagai fasilitator agar semua kaedah tersebut dapat ditularkan kepada pelaku usaha baik IRT/UKM ataupun taraf Nasional, sehingga produk yang dihasilkan tetap mempunyai daya saing yang tinggi.
b. Penyebarluasan Teknologi
Pelatihan, Magang, Penyuluhan teknologi, Ekspose teknologi merupakan metode pembelajaran yang digunakan sebagi media penyebarluasan teknologi di tingkat petani. Melalui penyebarluasan dapat ditimbulkan motivasi dari pelaku usaha kecil memperlakukan komoditas.
c. Penerapan Teknologi Pasca Panen dan Pengolahan Serta sistem Jaminan Mutu
Peguasaan teknologi pasca panen dan pengolahan hasil primer. Pembentukan satgas mutu guna penerapan sistim jaminan mutu. Penumbuhan cluster tanaman obat dengan membentuk kelembagaan pengolahan yang dilengkapi dengan unit-unit pengolahan primer skala kecil
d. Penguatan Kelembagaan
Pembentukan kelembagaan pemasaran yang dapat membantu mewujudkan kemitraan antara produsen atau pelaku usaha pengolahan IRT / UKM dengan Industri Nasional sehingga tercipta suatu bisnis yang saling menguntungkan kedua-belah pihak.
e. Perluasan Pasar dan Peningkatan ekspor
Tanaman obat (biofarmaka) pada hakekatnya merupakan tanaman yang potensial dan menguntungkan untuk dikembangkan. Keterbatasan pasar akibat kualitas, kuantitas dan kontinuitas belum memenuhi standard perlu diperbaiki bersamaan upaya perluasan pasar tidak hanya di dalam negeri, tetapi di luar negeri.
f. Dukungan Sarana dan Prasarana Dalam Pemanfaatan teknologi
Sarpras (Sarana dan Prasarana) pelaku usaha saat ini relatif sangat tertinggal bilamana mereka akan meningkatkan kualitas dan produktivitas, Oleh karena itu, dukungan Pemerintah dalam memfasilitasi sarpras akan memberikan dampak positif dalam mengembangkan usaha pengolahan tanaman obat, khususnhya pelaku usaha IRT dan UKM.
g. Meningkatkan Konsumsi Tanaman Obat Dalam Neger
Walaupun hakekat tanaman obat sudah terbukti secara klinis dapat mencegah dan memulihkan kesehatan manusia, namun hingga saat ini sebagian besar masyarakat Indenesia belum memakai produk tanaman obat sebagai alternatif pertanam dalam merawat kesehatan. Pemerintah perlu melakukan suatu kampanye dan promosi tentang pentingnya tanaman obat, khasiat tertentu untuk merawat kesehatan.


PENUTUP
Pasar tanaman obat di masa yang akan datang memiliki peluang yang sangat bagus untuk dikembangkan. Permasalahan yang dihadapi oleh tanaman obat perlu mendapatkan perhatian yang khusus dari berbagai sektor bidang. Penerapan kebijakan dan strategi yang tepat dapat membantu mengembangkan tanaman obat.

Daftar Pustaka
[Departemen Pertanian]. 2005. Road Map: Program Pengembangan Agroindustri Perdesaan Temulawak (curcuma xanthorrhiza roxb). Jakarta : Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian.
Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian.
Heartwood, maximillian. 2007. Pasar Tanaman Obat Bagian 1. http://bisnisfarmasi.wordpress.com/2007/02/19/pasar-biofarmaka-wow-bagian-1/. [20 November 2010].
MEDIA INDONESIA. 2007. Tanaman Obat Indonesia belum Digarap Maksimal: Seyogianya rakyat Indonesia, khususnya petani, bisa menggapai taraf gemah ripah loh jinawi. Rubrik Ekonomi Nasional Ed. Kamis 29 Juli 2010.