“Ada dua cara menjalani hidup, yaitu menjalaninya dengan keajaiban-keajaiban atau menjalaninya dengan biasa-biasa saja“ (Albert Einstein). "Jika ingin menjadi seorang peneliti, maka jadilah peneliti yang menapak bumi jangan jadi peneliti yang hanya pintar di atas meja".

Kamis, 31 Maret 2011

KEMITRAAN DALAM PENGUSAHAAN KAYU

      Oleh: Anita Hafsari
Pola Kemitraan pada pengusahaan kayu pada dasarnya sama dengan pola kemitraan pengusahaan lainnya, yang membedakan adalah komoditi/objek yang diusahakan.
Mengacu kepada Undang-undang No. 9 Tahun 1995, pasal 1 tentang kemitraan, kemitraan merupakan kerjasama usaha antara usaha kecil dengan menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan ynag berkelanjutan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Selanjutnya Ian Linton dalam Hakim (www.damandiri.or.id), mengartikan kemitraan sebagai sebuah cara melakukan bisnis dimana pemasok dan pelanggan berniaga satu sama laiinya untuk mencapai bisnis bersama. Kemitraan dalam pengusahaan kayu berarti kerjasama antara pemasok dan pelanggan kayu. Jenis kayu yang diusahakan dapat beragam tergantung kepada jenis pengelolaan dan izin pemanfaataanya.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan, dalam kemitraan bisnis terdiri dari 5 (lima) pola, yaitu
a.    Pola inti plasma
b.    Pola Subkontraktor
c.    Dagang umum
d.    Waralaba
e.    Keagenan
f.     Pola-pola yang berkembang saat ini (bergantung kepada keputusan pemerintah daerah).

Pola-pola tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.    Pola Inti Plasma
Inti-plasma adalah hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar sebagai inti membina dan mengembangkan usaha kecil yang menjadi plasma dalam penyediaan lahan, penyediaan sarana produksi, pemberian bimbingan teknis manajemen usaha, produksi,
perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan bagi
peningkatan efisiensi dan produktifitas usaha. Selanjutnya menurut Undang-undang No. 9 Tahun 1995, inti plasma merupakan hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar yang di dalamnya usaha menengah atau usaha besar bertindak sebagai inti dan usaha kecil selaku plasma, perusahaan inti melaksanakan pembinaan mulai dari penyediaan sarana produksi, bimbingan teknis, sampai dengan pemasaran hasil produksi.
Secara garis besarnya, perusahaan besar mempunyai tanggung jawab terhadap pengusaha kecil mitranya dalam memberikan bantuan dan pembinaan mulai dari sarana produksi, bimbingan teknis, sampai dengan pemasaran hasil produksi. Selanjutnya perusahaan inti/perusahaan pengelola kayu mengupayakan tersedianya benih sebar, pupuk, pestisida, minyak tanah yang diperlukan selama berlangsungnya kegiatan penanaman kayu jenis tertentu, serta disamping itu perusahaan juga membantu petani dalam penyediaan modal kerja melalui koperasi, perbankan dan sumber-sumber lainnya. Sedangkan pihak petani (plasma) menyediakan lahan (areal) tempat menanam kayu dan melaksanakan pemiliharaan secara intensif pada lahan (areal) garapan yang diusahakan di bawah pengawasan dan pembinaan teknis perusahaan inti.
Perusahaan inti akan menjamin pemasaran dengan mengambil langsung tembakau yang sudah dipanen kepada petani dengan harga yang telah ditentukan. Di dalam mendukung berkembangnya pola hubungan kemitraan usaha ini dibutuhkan peran pemerintah sebagai pembina dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi pengembangan usaha. Adapun wujud dari peran pemerintah tersebut dapat berupa pemberian fasilitas dan kemudahan
berinvestasi serta perangkat perundang-undangan yang mendukung kemitraan usaha, penyediaan informasi bisnis, bertindak sebagai arbitrase dalam pembinaan dan pengawasan dan lain sebagainya. Hubungan kemitraan antara perusahaan inti dan petani (plasma) dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 29 Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, menyebutkan :
“Hubungan kemitraan dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis
yang sekurang-kurangnya mengatur bentuk dan lingkup kegiatan
usaha kemitraan, hak dan kewajiban masing-masing pihak, bentuk
pembinaan dan pengembangan serta jangka waktu dan penyelesaian
perselisihan”.
Kemudian berikutnya untuk syarat sahnya suatu perjanjian, maka menurut
Pasal 1320 KUH Perdata mensyaratkan empat syarat sebagai berikut ;
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal
Syarat-syarat yang diatur dalam pasal 1320 KHU Perdata mengenai hak dan
kewajiban bagi para pihak dan atau pihak ketiga, yang meliputi subyek dan obyek perjanjian. Syarat pertama dan kedua menyangkut subyeknya, sedangkan syarat ketiga dan keempat menyangkut obyeknya. Suatu perjanjian yang mengandung cacat pada subyeknya, maka perjanjian itu dapat dibatalkan, sedangkan suatu perjanjian yang mengandung cacat pada
obyeknya, maka perjanjian tersebut adalah batal demi hukum. Pada prinsipnya suatu perjanjian terjadi berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Berkaitan dengan asas kebebasan berkontrak diatur dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: “segala perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas kebebasan berkontrak dalam perkembangannya ternyata dapat mendatangkan ketidakadilan karena prinsip ini hanya dapat mencapai tujuannya, yaitu mendatangkan kesejahteraan seoptimal mungkin, bila para
pihak memiliki posisi tawar yang seimbang. Namun dewasa ini kecenderungan memperlihatkan banyak perjanjian di dalam transaksi bisnis
yang terjadi bukan melalui proses negosiasi yang seimbang diantara para pihak, tetapi perjanjian itu terjadi dengan cara di pihak yang satu telah menyiapkan syarat-syarat baku pada suatu formulir perjanjian yang sudah
dicetak dan pihak lain harus menerimanya. Perjanjian demikian ini dinamakan perjanjian standar atau perjanjian baku (adhesi).
(1). Asas-asas Perjanjian inti plasma
Adapun asas-asas hukum yang terdapat dalam hukum perjanjian
inti plasma adalah :
a). Asas Kebebasan Berkontrak
Hukum benda menganut sistem tertutup, sedangkan Hukum Perjanjian menganut sistem terbuka. Artinya macam-macam hak atas benda adalah terbatas dan peraturan-peraturan yang mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa, sedangkan Hukum Perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan hukum pelengkap (optional law), yang berarti bahwa pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang, menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian. Mereka diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian-perjanjian yang mereka adakan itu. Asas ini dalam hukum perjanjian dikenal dengan asas kebebasan berkontrak
(contractvrijheid).
Asas kebebasan berkontrak ini mempunyai hubungan yang erat dengan asas konsensualisme dan asas kekuatan mengikat yang terdapat di dalam Pasal 1338 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ketentuan ini berbunyi :“Semua Persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. “Semua” mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh undang-undang. Asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid) berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan “apa” dan dengan “siapa” perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang diperbuat sesuai Pasal 1320 KUH Perdata mempunyai kekuatan mengikat. Dengan demikian
maka, kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam Hukum Perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia.
b). Asas Konsensualisme
Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 1338 KUH Perdata. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata penyebutannya tegas sedang dalam Pasal 1338 KUH Perdata ditemukan dalam istilah “semua”. Kata -kata semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi ke semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang dirasakannya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakanperjanjian. Adapun menurut A. Qirom Syamsudin M, Asas konsesualisme mengandung arti bahwa dalam suatu perjanjian cukup ada kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian itu, tanpa dikuti dengan perbuatan hukum lain kecuali perjanjian yang bersifat formal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, perjanjian itu sudah mengikat sejak tercapainya kata sepakat mengenai pokok perjanjian. Dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata ditentukan bahwa perjanjian atau kontrak tidaklah sah apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat dari para pihak yang membuatnya. Dengan demikian dalam perjanjian antara ini plasma harus didasari kesepakatan untuk mengadakan kerjasama usaha.

c). Asas Itikad Baik
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1338 ayat (3) asas itikad baik ini diatur. Asas itikad baik ini sangat mendasar dan penting untuk diperhatikan terutama di dalam membuat perjanjian, maksud itikad baik disini adalah bertindak sebagai pribadi yang baik. Itikad baik dalam pengertian yang sangat subyektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseoraang, yaitu apa yang terletak padaa seseorang pada waktu diaadakan perbuatan hukum. sedangkn itikad baik dalam pengertian obyektif yaitu bahwa pelaksanaan suatu perjanjian itu harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa-apa yang dirasa sesuai dengan yang paatut dalam masyarakat. Kemudian menurut Munir Fuady11, rumusan dari Pasal 1338
ayat (3) tersebut mengidentifikasikan bahwa sebenarnya itikad baik bukan merupakan syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana syarat yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Unsur itikad baik hanya diisyaratkan dalam hal “pelaksanaan” dari suatu kontrak, bukan pada “pembuatan” suatu kontrak. Sebab unsur “itikad baik” dalam hal pembuatan suatu kontrak sudah dapat dicakup oleh unsure “kausa yang legal” dari Pasal 1320 ter sebut.
d). Asas Kepercayaan (Vertrouwensbeginsel)
Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. Dengan kepercayaan ini, kedua pihak mengikatkan dirinya dan untuk keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.

e). Asas Pacta Sunservanda (Asas Kekuatan Mengikat)
Demikianlah seterusnya dapat ditarik kesimpulan di dalamperjanjiaan terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral. Demikianlah sehingga asas - asas moral, kepatutan dan kebiasaan yang mengikat para pihak. Asas kekuatan mengikat atau asas facta sun servanda ini dapat diketahui di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa : “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Adapun maksud dari asas ini tidak lain untuk mendapatkan
kepastian hukum bagi para pihak, maka sejak dipenuhinya syarat sahnya perjanjian sejak saat itu perjanjian mengikat para pihak seperti undang-undang.
f).  Asas Kesetaraan
Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengaharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan. Asas ini dimaksudkan agar program kemitraan dapat memberikan keuntungan yang adil bagi semua pihak. Karena kemitraan pada hakikatnya adalah sebuah kerjasama bisnis untuk
tujuan tertentu dan antara pihak yang bermitra harus mempunyai kepentingan dan posisi yang sejajar. Dengan ketentuan ini maka antara inti dan plasma ditekankan pada adanya kesetaraan dalam posisi tawar atau posisi tawar menawar yang seimbang.
g). Asas Unconcionability
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, unconscionable artinya bertentangan dengan hati nurani. Perjanjian-perjanjian unconscionable seringkali digambarkan sebagai perjanjian-perjanjian yang sedemikian tidak adil (unfair) sehingga dapat mengguncangkan hati nurani Pengadilan (Hakim) atau shock the conscience of the court. Sebenarnya terhadap asas ini tidak mungkin diberikan arti yang tepat, yang diketahui hanyalah tujuannya yaitu untuk mencegah penindasan dan kejutan yang tidak adil. Adapun menurut Mariam Darus Badrulzaman16, unconscionability atau doktrin ketidakadilan adalah suatu doktrin dalam ilmu hukum kontrak yang mengajarkan bahwa suatu kontrak batal atau dapat dibatalkan oleh pihak yang dirugikan manakala
dalam kontrak tersebut terdapat klausula yang tidak adil dan sangat memberatkan salah satu pihak, sungguhpun kedua belah pihak telah menandatangani kontrak yang bersangkutan. Biasanya doktrin ketidakadilan (unconscionability) ini mengacu kepada posisi tawar menawar dalam kontrak tersebut yang sangat berat sebelah karena tidak terdapat pilihan dari pihak yang dirugikan disertai dengan klausula dalam kontrak yang sangat tidak
adil sehingga memberikan keuntungan yang tidak wajar bagi pihak lain.
h). Asas Subsidaritas
Asas subsideritas mengandung pengertian bahwa pengusaha menegah atau pengusaha besar merupakan salah satu faktor dalam rangka memberdayakan usaha kecil tentunya sesuai kemampuan dan kompetensi yang dimiliki dalam mendukung mitra usahanya sehingga mampu dan dapat mengembangkan diri menuju kemandirian.
i). Asas Kebersamaan
Kebersamaan atau rasa solidaritas dalam hubungan kemitraan inti dengan plasma hendaknya ditanamkan. Dengan ditanamkannya rasa kebersamaan, maka akan timbul rasa saling membutuhkan diantara kedua belah pihak, pihak inti memerlukan plasma, pihak plasmapun memerlukan inti dalam kesatuan hubungan untuk melaksanakan selp dan otoaktiva guna kepentingan bersama.
j). Asas Sukarela
Sebagai pemrakarsa atau mitra usaha dalam kemitraan usaha nasional bukanlah suatu kewajiban yang bersifat mutlak bagi setiap perusahaan, tetapi hal ini hanya dilandasi oleh rasa tanggung jawab sosial dari perusahaan besar terhadap lingkungan tempat berusahanya.
k). Asas Keuntungan Timbal Balik
Kemitraan usaha nasional ini dibina dan dikembangkan untuk memberikan manfaat bagi kedua belah pihak yang bermitra. Keuntungan timbal balik sebagai dasar untuk menjalin kemitraan yang langgeng.
l). Asas Desentralisasi
Pemerintah dalam hal ini memberikan wewenang dan kebebasan kepada setaip usaha besar ataupun usaha menengah bersama mitra usahanya untuk mendisain dan merancang sendiri pola kemitraan yang akan dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara masing-masing pihak yang bermitra. Dari kesemua asas-asas hukum tersebut di atas terdapat asas-asas yang sifatnya lex generalis, yaitu asas-asas hukum perjanjian yang pada umumnya yaitu asas nomor 1 – 5, dan selebihnya merupakan asas-asas yang sifatnya lex spesialis dalam kemitraan.
(2) Dokumen Perjanjian
a). Negosiasi Kontrak
Negosiasi adalah fact of life atau keseharian. Setiap orang melakukan negosiasi dalam kehidupan sehari-hari, seperti mitra dagang dan kuasa hukum salah satu pihak yang bersengketa. Negosiasi adalah basic of means untuk mendapatkan apa yang diinginkan dari orang lain. Lebih jauh negosiasi diartikan sebagai komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yangsama maupun yang berbeda. Adapun Priatna Abdurrasyid
menyatakan negosiasi merupakan suatu cara dimana individu berkomunikasi satu sama lain mengatur hubungan mereka dalam bisnis dan kehidupan sehari-harinya.
Selanjutnya perlu juga dijelaskan mengenai definisi dari kontrak dalam hal ini. Salah satu definisi kontrak yang diberikan oleh salah satu kamus, bahwa kontrak adalah suatu kesepakatan yang diperjanjikan (promissory agreement) di antara dua atau lebih pihak yang dapat menimbulkan, memodifikasi, atau menghilangkan hubungan hukum. Kemudian Gifis Steven H memberikan pengertian mengenai kontrak sebagai suatu perjanjian, atau serangkaian perjanjian di mana hukum memberikan ganti rugi terhadap wanprestasi terhadap kontrak tersebut, atau terhadap pelaksanaan kontrak tersebut oleh hukum dianggap sebagai suatu tugas.20 Akan tetapi KUH Perdata memberikan pengertian kepada kontrak ini (dalam hal ini disebut
perjanjian) sebagai suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih, vide Pasal 1313 KUH Perdata.
Oleh karena itu maka, sebelum menginjak suatu hubungan hukum yang tertuang dalam suatu perjanjian atau kontrak para pihak biasanya terlebih dahulu mengungkapkan keinginannya untuk suatu hubungan kerjasama. Prinsip umum negosiasi adalah dilakukan secara imparsial terpusat hanya pada manfaat kontrak itu sendiri. Prinsip umum ini akan dibenarkan apabila merujuk pada prinsip yang lebih tinggi, yaitu fair dan kesebandingan, bertanggungjawab serta itikad baik. Sebagai hasil akhir dari suatu negosiasi biasanya berupa kompromi dari pihak yang sedang bernegosiasi. Jadi kompromi merupakan intisari dari negosiasi. Masalah pokok dalam negosiasi adalah menciptakan, mengendalikan dan mengakhiri gerakan ke arah suatu kesepakatan yang sama-sama memuaskan.
Namun dalam praktek, yang terjadi ada kalanya dalam transaksi bisnis bukan melalui proses negosiasi yang seimbang diantara para pihak. Hal tersebut dapat terjadi jika salah satu pihak telah menyiapkan syarat-syarat baku pada suatu formulir yang sudah dicetak dan pihak lain harus menerimanya. Di dalam kontrak itu lazimnya dimuat syarat-syarat yang membatasi kewajiban kreditur. Syarat-syarat itu dinamakan eksonerasi klausules atau ezxemption clause. Syarat ini sangat merugikan debitur, tetapi debitur tidak dapat membantah syarat tersebut, karena kontrak itu hanya memberi 2 (dua) alternatif, diterima atau ditolak oleh debitur. Mengingat debitur sangat membutuhkan kontrak itu maka debitur menandatanganinya.
Dengan demikian menunjukkan dan terkesan salah satu pihak dalam posisi tawar yang tidak seimbang karena tidak diberikan kesempatan dan peluang untuk bernegosiasi guna mengungkapkan keinginannya.
b). Dokumen Kontrak
Dalam perjanjian kemitraan inti plasma, dokumen yang paling penting ialah dokumen pokok, yang disebut sebagai perjanjian kemitraan. Dokumen pokok atau perjanjian kemitraan ini harus dibuat dalam bentuk tertulis, sebagaimana telah ditetukan oleh pemerintah mengenai standart perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor. 44 Tahun 1997 menyatakan bahwa perjanjian tertulis sekurang-kurangnya memuat :
a. Nama;
b. Tempat kedudukan masing-masing pihak;
c. Bentuk dan lingkup usaha yang dimitrakan;
d. Pola kemitraan yang digunakan;
e. Hak dan kewajiban masing-masing pihak;
f. Jangka waktu berlakunya perjanjian;
g. Cara pembayaran;
h. Bentuk pembinaan yang diberikan oleh usaha besar dan atau usaha   menengah;
i. Cara penyelesaian perselisihan;
Selain dari dokumen pokok, masih ada juga yang dinamakan sebagai dokumen tambahan22 yang dibuat dalam proses pelaksanaan yang sesuai dengan kebutuhan. Dokumen tambhan ini misalnya Perjanjian Barang Jaminan dan lain-lain. Tetapi yang jelas karena dokumen kontrak itu sebagai dokumen hukum maka tanpa melihat jenis usaha apapun perlu dirancang secara seksama. Adapun yang dimaksud dengan jaminan ialah sesuatu yang
diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.
Dalam suatu perjanjian harus memuat klausul yang wajib (conditions) dan tambahan sebagai jaminan-jaminan (warranties). Klausul wajib memberikan kepadapihak lain hak untuk membatalkan kontrak dan menuntut ganti rugi, sedangkan klausul tambahan berupa jaminan-jaminan apabila ada pelanggaran. 
Dikatakan sebagai sebuah dokumen yang mempunyai sifat kotraktual apabila pihak kepadaa siapaa dokumen itu diserahkan mengetahui bahwa dokumen itu dimaaksudkan mempunyai akibat hukum atau apabila dokumen itu telah diserahkan kepadanya dengan caara sedemikian rupa sehingga yang bersangkutan mengetahui bahwa dokumen itu mengandung syarat-syarat. Berkaitan dengan klausul dalam suatu dokumen kontrak, maka selain adanya klausul yang wajib dan klausul tambahan, dikenal pula apa yang disebut syarat-syarat eksenorasi, maksudnya dicantumkan dalam perjanjian ialah ingin menghapuskan atau membatasi tanggung jawabnya yang dibuat oleh salah satu pihak dalam perjanjian itu. Adanya syarat-syarat eksenorasi timbul masalah yang sering merugikan salah satu pihak. Adapun Pitlo menyatakan lebih-lebih dalam perjanjian baku syarat-syarat eksenorasi tidaklah jarang terjadi. Oleh karenanya, maka di dalam KUH Perdata terdapat pasal-pasal yang dapat dijadikan sebagai tolak ukur guna menentukan apakah substansi suatu klausul dalam perjanjian baku merupakan suatu yang secara tidak wajar sangat memberatkan bagi pihak lainnya.
Selanjutnya menurut Sutan Remy Sjahdeini,28 Pasal 1337 dan Pasal 1339 KUH Perdata dapat dipakai sebagai salah satu tolak ukur yang dimaksud. Dari kedua pasal tersebut tolak ukurnya adalah undang-undang, moral, ketertiban umum, kepatutan dan kebiasaan.
Undang-undang merupakan tolak ukur yang pertama dan utama, karena hukum mempunyai supremasi dan selalu dianggap bahwa ketentuan-ketentuan hukum merupakan bagian yang integral dalam setiap perjanjian. Karenanya para pihak tidak boleh memasukkan syarat-syarat yang bertentangan dengan hukum.
Kemudian yang menjadi tolak ukur selanjutnya adalah segala yang bertentangan dengan moral dan ketertiban umum. Kedua tolak ukur tersebut sifatnya relatif, norma atau kesusilaan harus diartikan sebagai moral yang dalam suatu masyarakat diakui oleh umum atau khalayak ramai. Sedangkan yang dimaksudkan dengan ketertiban umum adalah kepentingan masyarakat yang dilawankan dengan kepentingan perseorangan, dalam berhadapan dengan kepentingan perseorangan itu yang dipermasalahkan adalah apakah kepentingan masyarakat itu dikorbankan atau tidak.
Berikutnya kepatutan, mempunyai isi yang lebih luas dari moral dan ketertiban umum, artinya bahwa apa yang tidak sesuai dengan moral dan melanggar ketertiban umum adalah juga tidak sesuai dengan kepatutan. Selain itu yang dapat dimasukkan di dalam arti kepatutan adalah keadilan, karena ukuran tentang suatu hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat. Dengan perkataan lain bila dikaitkan dengan kepatutan dalam arti keadilan, maka isi atau klausul-klausul suatu perjanjian tidak boleh tidak adil. Klausul-klausul perjanjian yang secara tidak wajar sangat
memberatkan pihak lainnya adalah syarat-syrat yang bertentangan dengan keadilan. Adapun adil yang dimaksud adalah keadilan distributif yaitu keadilan yang sesuai dengan jasanya. Selanjutnya yang dapat menjadi tolak ukur adalah Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menentukan bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Dalam hal ini Sutan Remy Sjahdeini menjelaskan bahwa itikad baik adalah niat dari pihak
yang satu dalam suatu perjanjian untuk tidak merugikan mitra janjinya maupun tidak merugikan kepentingan umum. Itikad baik tidak saja bekerja setelah perjanjian dibuat tetapi juga telah mulai bekerja sewaktu pihak-pihak akan memasuki atau menghendaki untuk memasuki perjanjian yang bersangkutan.

c). Pelaksanaan Kontrak
Setelah tahapan negosiasi dan pembuatan dokumen dari suatu kontrak telah selesai dilakukan maka tahapan berikutnya adalah pelaksanaan dan sekaligus pengawasan dari kontrak. Pelaksanaan dan pengawasan merupakan hal yang tidak boleh diabaikan. Tata cara pelaksanaan perjanjian (performance) serta akibat-akibat hukum dari pelaksanaan perjanjian harus secara cermat dipikirkan pada saat akan dibuatnya sebuah kontrak, agar pada saat pelaksanaannya tidak mengalami suatu permasalahan yang mengganggu. Pelaksanaan kontrak selain membutuhkaan adanya itikad baik juga perlu dikelola secara tepat agar tidak menimbulkan masalah.
Dalam pelaksanaan kontrak kita mungkin saja akan menghadapi hal-hal yang menghambat bahkan menyebabkan tidak terpenuhinya kontrak tersebut. Demikian pula dalam perjanjian kemitraan inti plasma, mungkin saja di dalam pelaksanaannya juga akan terjadi kegagalan atau hal-hal yang dapat menghambat serta mengakibatkan tidak terpenuhinya perjanjian. Hal ini bisa saja terjadi karena pihak inti yang daalam hal ini secara ekonomi
memang berada pada posisi yang lebih kuat jika dibandingkan dengan pihak plasma, karenanya tidak menutup kemungkinan dengan situasi dan kondisi yang seperti tersebut akan berdampak dan berpengaruh terhadap pelaksanaan perjanjian kemitraan dimana pihak inti akan mendominasi pihak plasma untuk memaksakan kehendaknya. Praktek seperti ini selaras dengan apa yang diungkapkan oleh Satjipto Rahardjo yaitu :
“Semakin tinggi kedudukan sesuatu kelompok itu secara ekonomi maupun
politik, semakin besar pula kemungkinannya bahwa pandangan serta
kepentingannya tercermin di dalam hukum”.

b.   Pola Subkontraktor
Adalah suatu sistem yang mengambarkan hubungan antara usaha besar dengan usaha kecil/menengah, dimana usaha besar sebagai perusahaan induk (parent firm) meminta kepada usaha kecil/menengah (selaku subkontraktor) untuk mengerjakan seluruh atau sebagianpekerjaan (komponen) dengan tanggung jawab penuh pada perusahaan induk.
c.    Pola Dagang umum
Adalah hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar yang berlangsung dalam bentuk kerjasama pemasaran, penyediaan lokasi usaha, atau penerimaan pasokan dari usaha kecil mitra usahanya untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh usaha besar dan atau usaha menengah yang bersangkutan.
d.    Pola Waralaba (franchise)
adalah suatu sistem yang menggambarkan hubungan antara Usaha Besar (franchisor) dengan Usaha Kecil (franchisee), dimana franchisee diberikan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau cirri khas usaha, dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak franchisor dalam rangka penyediaan atau penjualan barang dan atau jasa.
e.    Pola Keagenan
merupakan hubungan kemitraan, dimana pihak principal memproduksi/memiliki sesuatu, sedangkan pihak lain (agen) bertindak sebagai pihak yang menjalankan bisnis tersebut dan menghubungkan produk yang bersangkutan langsung dengan pihak ketiga.
f. Bentuk-bentuk lain di luar pola sebagaimana yang tertulis di atas, yang
saat ini sudah berkembang tetapi belum dibakukan atau pola- pola baru
yang timbul dimasa yang akan datang.


Tidak ada komentar: