oleh: Anita Hafsari
1. Perkembangana Bahan Pewarna Alami
Teknologi penggunaan zat pewarna buatan yang "canggih" dan "jitu" dibandingkan dengan teknologi zat pewarna alam nenek moyang kita dahulu, ternyata tidak kalah "canggih" dan "jitu" karena zat pewarna alami menghasilkan produk non karsinogen, ramah lingkungan yang menjadi bahan pertimbangan untuk mencari celah-celah mengatasi krisis moneter yang berkepanjangan (Patmasari, 1999). Pewarna alam mulai bergeser penggunaannya sejak tahun 1800-an, yaitu setelah ditemukannya cara sintesa pewarna secara kimiawi, seperti sintesa indigo pada tahun 1897. Keunggulan dari pewarna sintetis adalah harganya lebih murah karena dapat diproduksi secara masal dan memiliki sifat lebih tahan luntur.
Berkembangnya produksi indigo sintetis menyebabkan penggunaan indigo alam oleh industri tekstil menurun. Tahun 1914 konsumsi indigo alam di dunia hanya 4 %,bahkan dalam industri makanan sekarang ini 90% pewarna yang digunakan adalah pewarna sintetis.
Dewasa ini tuntutan pasar pada pewarna yang digunakan dalam industri makanan,minuman, kosmetika, tekstil dan kerajinan sangatlah terkait dengan keamanan konsumen dan keramahan lingkungan. Pewarna yang diedarkan harus diuji dulu tingkat keamanannya oleh FAO/WHO Codex Alimentarius Commision dan Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA).
Faktor-faktor yang menjadi penilaian bahan pewarna baik ialah penetapan spesifikasi yang jelas, melakukan studi-studi biologis seperti acute toxicity studies, short and long term feeding studies, metabolic studies dan upaya mengetahui kemungkinan pengaruh mutagenic dan reaksi hipersensitifitas.