(Bogor kota hujan made it @ 12 Mei 2012, by me nita)
Berbeberapa bulan
yang lalu dunia kehutanan dan perkebunan sempat digemparkan oleh adanya
peraturan Menteri Kehutanan Nomor 62/Menhut/II/2011 terkait Pedoman Pembangunan
Hutan Tanaman Berbagai Jenis pada Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada
Hutan Tanaman Industri (IUPHHK/HTI) dimana salah satu pasal tersebut
mengisyaratkan untuk dibentuknya HTI berbasis perkebunan sawit. Tidak semua
orang memiliki pandangan yang sama terkait keberadaan peraturan tersebut karena
terbentur oleh isu lingkungan. BAB ini tidak akan membahas mengenai keberadaan peraturan
tersebut akan tetapi mungkin satu hal yang harus dicermati dengan keberadaan
peraturan tersebut adalah untuk memberikan gambaran bahwa keberadaan HTI sawit
tersebut dapat meningkatkan produksi kelapa sawit dan meningkatkan kontribusi
sektor kehutanan terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) yang setiap tahunnya
tidak pernah meningkat di angka 2 % (Astana, 2010). Sawit dijadikan alternative
tanaman karena sawit merupakan komoditi primadona Indonesia yang sangat
menjajikan di dunia bisnis. Indonesia merupakan penghasil utama kelapa sawit
dan turunannya setelah Malaysia. Jika dilihat dari pangsa pasar minyak nabati
di pasar internasional daya saing, minyak sawit dinilai memiliki daya saing
yang paling baik karena pangsa pasarnya terus meningkat sekitar 10% pada tahun
1970-an menjadi sekitar 28% pada tahun 2000-an (Susila W.R, 2006). Peningkatan
daya saing tersebut tidak terlepas dari sejarah panjang perkembangan perkebunan
kelapa sawit di Indonesia yang berkembang sejak akhir abad ke 19 tepatnya pada
tahun 1884 hingga sekarang. Oleh karena itu sudah sepantasnyalah kita wajib
mengetahui bagaimana perkembangan perkebunan sawit pada masa dulu hingga masa
kini.
1. Asal Usul Kelapa Sawit
Kelapa sawit (Elaeis)
merupakan tumbuhan agro industri yang menghasilkan keuntungan besar sehingga
tidak sedikit hutan dan perkebunan lama yang dikonversi menjadi perkebunan
kelapa sawit (http://www.wikipedia.org). Di Indonesia sendiri potensi penyebarannya merata hampir
di seluruh wilayah seperti Aceh, pantai timur Sumatra, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi dan Papua.
Gambar.
Peta potensi penyebaran lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia
Dahulu asal muasal kelapa sawit sempat menjadi
perdebatan di berbagai belahan dunia, ada yang mengatakan berasal dari Nigeria
(Afrika Barat) dan ada juga yang berasal dari Amerika tepatnya Brazil. Kemudian
Zeven menyatakan bahwa tanaman kelapa sawit berasal dari daratan tersier yang
merupakan daratan penghubung yang terletak antara Afrika dan Amerika yang
kemudian terpisah oleh laut menjadi benua (Risza, 1994). Kelapa sawit berkembang
pesat di Asia Tenggara khususnya Indonesia dan Malaysia, justru bukan dari
Amerika ataupun Afrika. Invasi kelapa sawit jenis Elaeis guineensis ke Indonesia pertama kali terjadi pada tahun 1948
dibawa oleh pemerintah Hindia Belanda. Kelapa sawit tersebut berasal dari Bourbon
(Mauritius) dan Amsterdam. Kelapa sawit yang diinvasikan terdiri dari 4 batang
kemudian ditanam di Kebun Raya Bogor dan di budidayakan di Deli (Sumatera
Utara).
2.
Sejarah
Perkembangan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia
a.
Pada
masa penjajahan
Perkembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia bermula
pada tahun 1911 setelah seorang belgia bernama Andrien Hallet membudidayakan
kelapa sawit secara komersial dalam bentuk perkebunan di Sungai Liput Aceh dan
Pulau Raja (Asahan). Ide pengembangan tersebut dipicu oleh meningkatnya
kebutuhan minyak nabati pada masa revolusi industry di abad ke 19. Perkebunan
kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh.
Luas areal perkebunan mencapai 5.123 ha
(Wikipedia). Pusat pemuliaan dan penangkaran kemudian didirikan di Marihat (terkenal sebagai AVROS), Sumatera Utara
dan di Rantau Panjang, Kuala Selangor, Malaya
pada 1911-1912. Di Malaya, perkebunan pertama dibuka pada tahun 1917 di Ladang
Tenmaran, Kuala Selangor
menggunakan benih dura Deli dari Rantau Panjang. Di Afrika Barat sendiri
penanaman kelapa sawit besar-besaran baru dimulai tahun 1910. Perkembangan
perkebunan sawit di Indonesia mulai terlihat pada tahun 1916-1938, pada waktu
itu luasan perkebunan sawit meningkat drastis 97 % dari luas 1.272 ha (tahun 1916) menjadi 92.307 ha (tahun 1938)/usu.
Akan tetapi pada tahun 1940 tentara Jepang berhasil mengusir pemerintahan
Hindia Belanda dan merebut perkebunan kelapa sawit hasil bentukan Belanda yang
hasilnya dikirim ke Jepang sebagai bahan mentah industry perang. Sayangnya hal
ini tidak berlangsung lama, pada tahun 1943 pemerintah Jepang mengalami
serangan dari sekutu yang berkahir dengan terjadinya tragedi Bom Hiroshima
Nagasaki tahun 1945. Pada tahun 1947 pemerintah Belanda berhasil merebut
kembali kekuasaan atas perkebunan sawit dan pada masa itu maskapai-maskapai
asing seperti Prancis, Inggris dan Amerika mulai melakukan pengembangan kebun
sawit.
b. Masa Awal Kemerdekaan/Orde Lama
Pada masa awal kemerdekaan tepatnya tahun 1957
pemerintah Indonesia berhasil mengambil alih perusahaan sawit milik maskapai
Belanda (dengan alasan politik dan keamanan). Untuk mengamankan jalannya
produksi, pemerintah meletakkan perwira militer di setiap jenjang manajemen
perkebunan. Pemerintah juga membentuk BUMIL (Buruh Militer) yang merupakan
kerja sama antara buruh perkebunan dan militer. Perubahan manajemen dalam
perkebunan dan kondisi sosial politik serta keamanan dalam negeri yang tidak
kondusif, menyebabkan perkebunan kelapa sawit terlantar karena tidak ada
peremajaan dan rehabilitasi pabrik. Hal tersebut menyebabkan produksi kelapa
sawit menurun dan pada tahun 1966 posisi Indonesia sebagai pemasok minyak sawit
dunia terbesar tergeser oleh Malaysia sampai saat ini.
C.
Masa Orde Baru sampai sekarang
Masa orde baru merupakan masa kebangkitan kembali
perkebunan kelapa sawit. Pada masa ini pemerintah mulai membangun kembali
perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran dengan mengadakan peremajaan dan
penanaman baru. Pemerintah pun bertekad untuk melakukan pengembangan perkebunan
sawit dengan berbagai pola dimulai pada tahun 1969. Tahun 2009 Direktorat
Jenderal Perkebunan telah membuat intisari perkembangan kebijakan perkebunan
kelapa sawit di Indonesia mulai dari tahun 1969-2009 disertai dengan
peningkatan luas areal. Intisari perkembangan perkebunan kelapa sawit dari
tahun 1969-2009 sebagai berikut:
Tabel. Intisari perkembangan perkebunan kelapa sawit di
Indonesia
Tahun
|
Tahapan
Pengembangan
|
Luasan
areal (000) ha
|
|||
PR
|
PBN
|
PBS
|
Jumlah
|
||
1969
|
Pra-Pelita luas areal 1969
|
84
|
34
|
118
|
|
1979
|
1969-1979 persiapan konsep PIR
|
176
|
81
|
257
|
|
1986
|
PIR-Trans
|
129
|
332
|
144
|
605
|
1990
|
PSNI, PPBSN II, PBSN III
|
291
|
372
|
463
|
1099
|
1996
|
PIR lokal/KKPA kemitraan swadaya
|
738
|
426
|
1083
|
2247
|
2006
|
Menjadi produsen terbesar
|
2550
|
687
|
3358
|
6595
|
2007
|
Undang-undang PMA
|
2858
|
606
|
3408
|
6872
|
2009
|
30 tahun setelah pengembangan PIR
|
3014
|
609
|
3885
|
7508
|
Sumber:
Dirjen perkebunan
Tahun 1969 merupakan awal PELITA I, pada tahun tersebut
usaha perkebunan kelapa sawit hanya diusahakan sebagai usaha perkebunan besar
dan dalam prakteknya belum ada kegiataan pengembangan selain kegiatan
rehabilitasi untuk Perkebunan Besar Swasta serta konsolidasi penataan dan
penguatan untuk Perkebunan Besar Negara/PTP. Awal tahun 1980 mulai dikembangkan
seri proyek pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) melalui SK. Menteri Pertanian No.
853/1984 yang terdiri dari pola PIR bukaan baru dan pola PIR Lokal, dengan
perusahaan inti PBN/PTP yang dilaksanakan secara simultan di 12 provinsi
melalui 31 proyek. Melalui proyek pola PIR dikembangkan kebun plasma seluas
163.781 Ha dan kebun inti seluas 67.754 Ha, seluruhnya berjumlah 231.535 Ha.
Pengembangan kelapa sawit melalui seri proyek pola PIR tersebut menghasilkan hampir
dua kali lipat luas perkebunan kelapa sawit yang ada semenjak zaman penjajahan
sampai dengan 1969 yang pada waktu itu baru seluas 119 ribu Ha. Untuk
menyempurnakan PIR dan untuk melakukan deregulasi dari seri proyek pola PIR,
maka mulai tahun 1986 dilaksanakan pengembangan pola PIR-TRANS dengan
Perusahaan Inti Perusahaan Perkebunan Swasta berdasarkan instruksi presiden No.
1 tahun 1986. Pengembangan pola PIR-TRANS dilaksanakan pada 11 provinsi yakni
sebanyak 50 unit PIR-TRANS kelapa sawit, dengan rencana pengembangan
pembangunan kebun inti seluas 167.702 Ha, kebun plasma seluas 398.644 Ha, total
luasan 566.346 Ha. Pengembangan PIR-TRANS jauh lebih besar hampir dua kali
lipat dibanding seri proyek pola PIR sebelumnya. Keberhasilan pengembangan pola
PIR-TRANS dengan perusahaan inti perusahan perkebunan swasta berdampak nyata
terhadap pengembangan Perkebunan Besar Swasta, baik oleh grup perusahaan swasta
yang telah berhasil mengembangkan kebun inti pola PIR-TRANS, maupun perusahaan perkebunan
lain yang menjadi tertarik dan berminat atas keberhasilan pengembangan pola
PIR-TRANS. Tahun 1996 dilaksanakan pengembangan kebun plasma sekitar perkebunan
kelapa sawit yang telah ada melalui sumber dana skim kredit Koperasi Primer
untuk Para Anggotanya (KKPA). Dengan sumber dana skim kredit KKPA melalui 74 Koperasi
unit Desa (KUD) dilaksanakan pengembangan kebun petani seluas 150.781 Ha.
Program ini relative berjalan sukses. Pelaksanaan pembangunan kebun petani baik
realisasi penanaman maupun konversi serta pelunasan hutang petani telah dapat
diselesaikan sesuai rencana (Dirjen Perkebunan, 2009).
Dengan
mengacu keberhasilan pola Kemitraan melalui sumber dana KKPA, maka terus
berlanjut pola Kemitraan Swadaya dengan sumber dana kredit komersial, dana
sendiri, dan atau dana perusahaan inti/perusahaan mitra. Dalam perkembangannya perkebunan
kelapa sawit rakyat melalui kemitraan swadaya sudah jauh melampaui pembangunan kebun
petani melalui pengembangan kebun plasma pola PIR dan kebun petani melalui pola
kemitraan KKPA. Untuk mendorong Perkebunan Besar Swasta Nasional mengembangkan
usahanya disediakan fasilitas kredit PBSN I (1977-1981), PBSN II (1981-1986)
dan PBSN III (1986-1990). Melalui skim kredit PBSN III berhasil dikembangkan
perkebunan kelapa sawit seluas 328.208 Ha dan seluruh realisasi pinjaman kepada
Bank telah berhasil dilunasi seluruhnya (Dirjen Perkebunan, 2009).
Dari
tabel terlihat bahwa sampai dengan 1979 belum ada usaha perkebunan rakyat dan
total area perkebunan baru 257 ribu Ha. Setelah 30 tahun kemudian luas perkebunan
kelapa sawit menjadi 7.588 ribu Ha. Hal ini berarti bahwa pertambahan luas
areal setiap tahun hampir sama dengan luas areal perkebunan semenjak zaman
penjajahan sampai dengan tahun 1979. Kelonggaran penanaman modal asing
merupakan keberhasilan pengembangan perkebunan kelapa sawit adalah hasil upaya
terencana dengan sumber dana kredit perbankan dalam negeri, peran BUMN
Perkebunan serta sektor dunia usaha pada umumnya. Namun di balik keberhasilan
tersebut, dikejutkan adanya suasana tidak nyaman yang dapat diartikan
seakanakan mengecilkan keberhasilan yang telah dicapai. Suasana tidak nyaman
yang dapat dipandang sebagai antiklimaks tersebut ialah ditetapkannya
Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 tanggal 26 April 2007 tentang Penanaman
Modal dan Peraturan Presiden RI No. 111 tahun 2007 tentang Perubahan atas
Peraturan Presiden No. 77 tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup
dan Bidang Usaha yang Terbuka tertanggal 27 Desember 2007, yang isinya tentang
kelonggaran pemilikan modal asing yang bisa mencapai maksimal 95%. UU Penanaman
Modal No. 25 tahun 2007 pada pasal 22 antara lain menyebutkan kemudahan pelayanan
dan atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 huruf a (Hak
atas tanah) dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus dan dapat diperbaharui
kembali atas permohonan penanaman modal, berupa Hak Guna Usaha (HGU) dapat
diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun dengan cara dapat
diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun, dan
dapat
diperbaharui selama 35 (tiga puluh lima) tahun. Berkenaan dengan diterbitkannya
UU No.25 tahun 2007, Tentang Penanaman Modal ini maka sejumlah LSM mengajukan
Uji Materi dari UU ini kepada Mahkamah Konstitusi pada bulan Juli dan Agustus
2007. Berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 21-22/PPU-V/2007, maka
pasal 22 ayat (1) huruf a, b, dan c dan ayat (2) dinyatakan bertentangan dengan
UUD 1945 pasal 33 ayat (3) karenanya pasal 22 UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman
Modal harus dicabut. Dengan demikian maka pemberian, dan perpanjangan HGU, HGB dan
Hak Pakai yang berlaku adalah UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Pokok
Agraria, dan PP No.
40
tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai. Khusus
mengenai Perkebunan berlaku UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan. Berkenaan
dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut,
mengenai
Peraturan Presiden No. 111 tahun 2007 yang menyatakan bahwa penguasaan modal
asing pada usaha budidaya pertanian boleh maksimal 95% seyogianya ditinjau
kembali, kalaupun tidak dicabut penguasaan modal asing kembali ke ketentuan sebelumnya
yaitu maksimal sebesar 49% (Dirjen Perkebunan, 2009).
Tigapuluh tahun lebih setelah pengembangan PIR hingga
sekarang perkembangan perkebunan kelapa sawit masih meningkat secara signifika
mulai dari tahun 1967-2010. Luasan total perkebunan sawit pada tahun 1967
adalah 105.808 ha menjadi 7.824.623 ha pada tahun 2010.
Gambar.
Perkembangan luasan areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia 1967-2010
Sedangkan jika dilihat dari bentuk pengusahaan,
perkebunan sawit di Indonesia dari tahun 1967-2010 dikembangkan oleh tiga aktor
pengusahaan yakni aktor rakyat, swasta dan BUMN.
Gambar.
Perkembangan luasan areal perkebunan kelapa sawit berdasarkan tipe pengusahaan
tahun 1967-2010
Tahun
1967-1977 pengusahaan kelapa sawit dikembangkan oleh swasta dan BUMN sedangkan
perkebunan rakyat belum dikembangan. Usaha perkebunan rakyat mulai dikembangkan
pada tahun 1979. Dari tahun 1967-2010 pengusahaan perkebunan sawit yang paling
memiliki perkembangan pesat adalah sektor swasta dari luasan 40.235 ha pada
tahun 1967 meningkat menjadi 3.893.385 ha pada tahun 2010. Kemudian pada tahun
1979-2010 disusul oleh perkebunan rakyat, dari luasan 3.125 ha pada tahun 1979
meningkat menjadi 3.314.663 ha pada tahun 2010 sedangkan untuk luasan
perkebunan sawit yang dikelola oleh BUMN cenderung tetap peningkatan yang
terjadi tidak terlalu signifikan yakni 65.573 ha pada tahun 1967 menjadi
616.575 ha pada tahun 2010.
Meningkatnya
luasan perkebunan yang diusahakan akan mendorong peningkatan produksi kelapa
sawit. Sama halnya dengan luasan produksi kelapa sawit pun meningkat, produksi
awal 167.669 ton pada tahun 1967 menjadi 19.844.901 ton pada tahun 2010.
Sebenarnya peningkatan produksi dan luasan areal perkebunan kelapa sawit telah
banyak diramalkan oleh para pakar, salah satunya dalah Bapak Wayan Susila dari
Lembaga Riset Perkebunan, Pada tahun 2004 beliau melakukan analisis terkait prediksi
peluang peningkatan produksi dan luasan areal perkebunan sawit dari tahun
2005-2025. Selama selang waktu tersebut beliau meramalkan bahwa peluang usaha
perkebunan sawit akan meningkat dari 1.80-2.15 juta ha dengan peningkatan
produksi dari 15.78-18.78 juta ton. Kenaikan areal sawit diperkirakan 11
%/tahun, produksi akan meningkat 9.4 %/tahun dan konsumsi pasar domestik dan
ekspor juga akan meningkat di 10% sampai 13 % dengan kenaikan pangsa pasar
10-28%. Sedangkan untuk konsumsi crude
palm oil (CPO) akan meningkat antara 41.45-44.45 jutan ton, hal ini berkaca
pada konsumsi CPO pada tahun 2004 sebanyak 25.67 ton. Selebihnya beliau membagi
perkembangan perkebunan kelapa sawit menjadi tiga fase, yaitu: fase pertumbuhan
cepat (2005-2010), Fase pertumbuhan (2010-2017) dan fase jenuh (2017-2025)
kenaikan pertumbuhan hanya 1.5/tahun.
Berbicara
mengenai produksi CPO, memang produksi Indonesia meningkat akan tetapi jika
dibandingkan dengan pesaingnya di dunia internasional (Malaysia) Indonesia
masih jauh ketinggalan. CPO dari Malaysia lebih kompetitif karena mutu yang
dihasilkan lebih baik dan pemerintah Malaysia banyak menerima
kemudahan-kemudahan dalam bertransaksi dari Negara pengimpor yang tidak
didapatkan oleh Indonesia, akan tetapi hambatan Malaysia ada di sumber daya
lahan.
Sumber: data hasil pengolahan
Sumber Bacaan:
Astana,
Satria. 2010. (belum cek judul)
[BKPM]. 2012. Peta Peluang Investasi
Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit. http://regionalinvestment.bkpm.go.id [11 Mei 2012]
[Direktorat
Jenderal Perkebunan]. 2009. Lintasan Tiga Puluh Tahun Pengembangan Kelapa
Sawit: Tahapan Perkembangan Perkebunan Kelapa Sawit. Jakarta: Departemen
Pertanian. http://ditjenbun.deptan.go.id [21 Mei 2012]
[Konsultan Sawit Indonesia]. 2012. Sejarah
Perkebunan Sawit Di Indonesia. http://konsultasisawit.blogspot.com [21 Mei 2012]
Pahan,
Iyung. 2006. Panduan Lengkap Kelapa Sawit: Manajemen Agribisnis dari Hulu
hingga Hilir. Jakarta: Swadaya. http://books.google.co.id [11 Mei 2012]
Risza,
Suyatno. 1994. Kelapa Sawit Upaya Peningkatan Produkstivitas. Yogyakarta:
Karnisius. http://books.google.co.id [11 Mei 2012].
Susila,
WR. 2004. Peluang Pengembangan Kelapa Sawit Di Indonesia: Persfektif Jangka
Panjang 2025. Bogor: Lembaga Riset Perkebunan Indonesia.
3 komentar:
bagus banget datanya.
bisa info data tahun tanam nya per propinsi kah ? bila berkenan bisa email ke dolly.dolley@gmail.com ;
saya lulusan IPB pada AK 25. Salam Agri
cheers
SYARAT DAN KETENTUAN PINJAMAN:
Jumlah Pinjaman: $ 100.000.000
Suku Bunga Pinjaman: 2,00%
Jangka Waktu Pinjaman: 5 tahun
Pembayaran Pinjaman Bulanan: $ 1.752.776,01
Jumlah Pembayaran: 60
Pembayaran Kumulatif: $ 105,166,560.31
Total Bunga yang Dibayar: $ 5.166.560.31
Balas sekarang, jika Anda setuju dengan pembayaran bulanan dengan mengirim foto kartu identitas dan foto pribadi Anda
Kami menantikan tanggapan cepat Anda
Posting Komentar