“Ada dua cara menjalani hidup, yaitu menjalaninya dengan keajaiban-keajaiban atau menjalaninya dengan biasa-biasa saja“ (Albert Einstein). "Jika ingin menjadi seorang peneliti, maka jadilah peneliti yang menapak bumi jangan jadi peneliti yang hanya pintar di atas meja".

Jumat, 22 Juni 2012

INVETARISASI PUBLIKASI TULISAN ILMIAH

Tulisan ilmiahku yang telah fix tercetak dan ada bukti fisiknya (jurnal lain masih ditunggu untuk terbit):
  1. FORDA: Kajian Tata Niaga Kayu Rakyat Di Pulau Jawa Bagian Barat. http://www.forda-mof.org/files/Rachman%20Effendi.pdf
  2. LIPI: Kajian Tata Niaga Kulit Pulai Sebagai Baku Obat Hipertensi Di Provinsi Jawa Barat http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/8511315321_1829-6327.pdf
  3. FKKM: Prosiding Pertemuan Nasional. http://issuu.com/fkkm/docs/prosidingseminarkm

Jumat, 01 Juni 2012

PERKEBUNAN SAWIT (1967 until 2012)


 (Bogor kota hujan made it @ 12 Mei 2012, by me nita)
Berbeberapa bulan yang lalu dunia kehutanan dan perkebunan sempat digemparkan oleh adanya peraturan Menteri Kehutanan Nomor 62/Menhut/II/2011 terkait Pedoman Pembangunan Hutan Tanaman Berbagai Jenis pada Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK/HTI) dimana salah satu pasal tersebut mengisyaratkan untuk dibentuknya HTI berbasis perkebunan sawit. Tidak semua orang memiliki pandangan yang sama terkait keberadaan peraturan tersebut karena terbentur oleh isu lingkungan. BAB ini tidak akan membahas mengenai keberadaan peraturan tersebut akan tetapi mungkin satu hal yang harus dicermati dengan keberadaan peraturan tersebut adalah untuk memberikan gambaran bahwa keberadaan HTI sawit tersebut dapat meningkatkan produksi kelapa sawit dan meningkatkan kontribusi sektor kehutanan terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) yang setiap tahunnya tidak pernah meningkat di angka 2 % (Astana, 2010). Sawit dijadikan alternative tanaman karena sawit merupakan komoditi primadona Indonesia yang sangat menjajikan di dunia bisnis. Indonesia merupakan penghasil utama kelapa sawit dan turunannya setelah Malaysia. Jika dilihat dari pangsa pasar minyak nabati di pasar internasional daya saing, minyak sawit dinilai memiliki daya saing yang paling baik karena pangsa pasarnya terus meningkat sekitar 10% pada tahun 1970-an menjadi sekitar 28% pada tahun 2000-an (Susila W.R, 2006). Peningkatan daya saing tersebut tidak terlepas dari sejarah panjang perkembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang berkembang sejak akhir abad ke 19 tepatnya pada tahun 1884 hingga sekarang. Oleh karena itu sudah sepantasnyalah kita wajib mengetahui bagaimana perkembangan perkebunan sawit pada masa dulu hingga masa kini.
1.  Asal Usul Kelapa Sawit
Kelapa sawit (Elaeis) merupakan tumbuhan agro industri yang menghasilkan keuntungan besar sehingga tidak sedikit hutan dan perkebunan lama yang dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit (http://www.wikipedia.org). Di Indonesia  sendiri potensi penyebarannya merata hampir di seluruh wilayah seperti Aceh, pantai timur Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.
                                     Sumber: http://regionalinvestment.bkpm.go.id (2012)

Gambar. Peta potensi penyebaran lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia

Dahulu asal muasal kelapa sawit sempat menjadi perdebatan di berbagai belahan dunia, ada yang mengatakan berasal dari Nigeria (Afrika Barat) dan ada juga yang berasal dari Amerika tepatnya Brazil. Kemudian Zeven menyatakan bahwa tanaman kelapa sawit berasal dari daratan tersier yang merupakan daratan penghubung yang terletak antara Afrika dan Amerika yang kemudian terpisah oleh laut menjadi benua (Risza, 1994). Kelapa sawit berkembang pesat di Asia Tenggara khususnya Indonesia dan Malaysia, justru bukan dari Amerika ataupun Afrika. Invasi kelapa sawit jenis Elaeis guineensis ke Indonesia pertama kali terjadi pada tahun 1948 dibawa oleh pemerintah Hindia Belanda. Kelapa sawit tersebut berasal dari Bourbon (Mauritius) dan Amsterdam. Kelapa sawit yang diinvasikan terdiri dari 4 batang kemudian ditanam di Kebun Raya Bogor dan di budidayakan di Deli (Sumatera Utara).

2.     Sejarah Perkembangan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia
a.     Pada masa penjajahan
Perkembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia bermula pada tahun 1911 setelah seorang belgia bernama Andrien Hallet membudidayakan kelapa sawit secara komersial dalam bentuk perkebunan di Sungai Liput Aceh dan Pulau Raja (Asahan). Ide pengembangan tersebut dipicu oleh meningkatnya kebutuhan minyak nabati pada masa revolusi industry di abad ke 19. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunan mencapai 5.123 ha (Wikipedia). Pusat pemuliaan dan penangkaran kemudian didirikan di Marihat (terkenal sebagai AVROS), Sumatera Utara dan di Rantau Panjang, Kuala Selangor, Malaya pada 1911-1912. Di Malaya, perkebunan pertama dibuka pada tahun 1917 di Ladang Tenmaran, Kuala Selangor menggunakan benih dura Deli dari Rantau Panjang. Di Afrika Barat sendiri penanaman kelapa sawit besar-besaran baru dimulai tahun 1910. Perkembangan perkebunan sawit di Indonesia mulai terlihat pada tahun 1916-1938, pada waktu itu luasan perkebunan sawit meningkat drastis 97 % dari luas 1.272 ha (tahun 1916) menjadi 92.307 ha (tahun 1938)/usu. Akan tetapi pada tahun 1940 tentara Jepang berhasil mengusir pemerintahan Hindia Belanda dan merebut perkebunan kelapa sawit hasil bentukan Belanda yang hasilnya dikirim ke Jepang sebagai bahan mentah industry perang. Sayangnya hal ini tidak berlangsung lama, pada tahun 1943 pemerintah Jepang mengalami serangan dari sekutu yang berkahir dengan terjadinya tragedi Bom Hiroshima Nagasaki tahun 1945. Pada tahun 1947 pemerintah Belanda berhasil merebut kembali kekuasaan atas perkebunan sawit dan pada masa itu maskapai-maskapai asing seperti Prancis, Inggris dan Amerika mulai melakukan pengembangan kebun sawit.

b.  Masa Awal Kemerdekaan/Orde Lama
Pada masa awal kemerdekaan tepatnya tahun 1957 pemerintah Indonesia berhasil mengambil alih perusahaan sawit milik maskapai Belanda (dengan alasan politik dan keamanan). Untuk mengamankan jalannya produksi, pemerintah meletakkan perwira militer di setiap jenjang manajemen perkebunan. Pemerintah juga membentuk BUMIL (Buruh Militer) yang merupakan kerja sama antara buruh perkebunan dan militer. Perubahan manajemen dalam perkebunan dan kondisi sosial politik serta keamanan dalam negeri yang tidak kondusif, menyebabkan perkebunan kelapa sawit terlantar karena tidak ada peremajaan dan rehabilitasi pabrik. Hal tersebut menyebabkan produksi kelapa sawit menurun dan pada tahun 1966 posisi Indonesia sebagai pemasok minyak sawit dunia terbesar tergeser oleh Malaysia sampai saat ini.

C. Masa Orde Baru sampai sekarang
Masa orde baru merupakan masa kebangkitan kembali perkebunan kelapa sawit. Pada masa ini pemerintah mulai membangun kembali perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran dengan mengadakan peremajaan dan penanaman baru. Pemerintah pun bertekad untuk melakukan pengembangan perkebunan sawit dengan berbagai pola dimulai pada tahun 1969. Tahun 2009 Direktorat Jenderal Perkebunan telah membuat intisari perkembangan kebijakan perkebunan kelapa sawit di Indonesia mulai dari tahun 1969-2009 disertai dengan peningkatan luas areal. Intisari perkembangan perkebunan kelapa sawit dari tahun 1969-2009 sebagai berikut:

Tabel. Intisari perkembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia
Tahun
Tahapan Pengembangan
Luasan areal (000) ha
PR
PBN
PBS
Jumlah
1969
Pra-Pelita luas areal 1969

84
34
118
1979
1969-1979 persiapan konsep PIR

176
81
257
1986
PIR-Trans
129
332
144
605
1990
PSNI, PPBSN II, PBSN III
291
372
463
1099
1996
PIR lokal/KKPA kemitraan swadaya
738
426
1083
2247
2006
Menjadi produsen terbesar
2550
687
3358
6595
2007
Undang-undang PMA
2858
606
3408
6872
2009
30 tahun setelah pengembangan PIR
3014
609
3885
7508
Sumber: Dirjen perkebunan

Tahun 1969 merupakan awal PELITA I, pada tahun tersebut usaha perkebunan kelapa sawit hanya diusahakan sebagai usaha perkebunan besar dan dalam prakteknya belum ada kegiataan pengembangan selain kegiatan rehabilitasi untuk Perkebunan Besar Swasta serta konsolidasi penataan dan penguatan untuk Perkebunan Besar Negara/PTP. Awal tahun 1980 mulai dikembangkan seri proyek pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) melalui SK. Menteri Pertanian No. 853/1984 yang terdiri dari pola PIR bukaan baru dan pola PIR Lokal, dengan perusahaan inti PBN/PTP yang dilaksanakan secara simultan di 12 provinsi melalui 31 proyek. Melalui proyek pola PIR dikembangkan kebun plasma seluas 163.781 Ha dan kebun inti seluas 67.754 Ha, seluruhnya berjumlah 231.535 Ha. Pengembangan kelapa sawit melalui seri proyek pola PIR tersebut menghasilkan hampir dua kali lipat luas perkebunan kelapa sawit yang ada semenjak zaman penjajahan sampai dengan 1969 yang pada waktu itu baru seluas 119 ribu Ha. Untuk menyempurnakan PIR dan untuk melakukan deregulasi dari seri proyek pola PIR, maka mulai tahun 1986 dilaksanakan pengembangan pola PIR-TRANS dengan Perusahaan Inti Perusahaan Perkebunan Swasta berdasarkan instruksi presiden No. 1 tahun 1986. Pengembangan pola PIR-TRANS dilaksanakan pada 11 provinsi yakni sebanyak 50 unit PIR-TRANS kelapa sawit, dengan rencana pengembangan pembangunan kebun inti seluas 167.702 Ha, kebun plasma seluas 398.644 Ha, total luasan 566.346 Ha. Pengembangan PIR-TRANS jauh lebih besar hampir dua kali lipat dibanding seri proyek pola PIR sebelumnya. Keberhasilan pengembangan pola PIR-TRANS dengan perusahaan inti perusahan perkebunan swasta berdampak nyata terhadap pengembangan Perkebunan Besar Swasta, baik oleh grup perusahaan swasta yang telah berhasil mengembangkan kebun inti pola PIR-TRANS, maupun perusahaan perkebunan lain yang menjadi tertarik dan berminat atas keberhasilan pengembangan pola PIR-TRANS. Tahun 1996 dilaksanakan pengembangan kebun plasma sekitar perkebunan kelapa sawit yang telah ada melalui sumber dana skim kredit Koperasi Primer untuk Para Anggotanya (KKPA). Dengan sumber dana skim kredit KKPA melalui 74 Koperasi unit Desa (KUD) dilaksanakan pengembangan kebun petani seluas 150.781 Ha. Program ini relative berjalan sukses. Pelaksanaan pembangunan kebun petani baik realisasi penanaman maupun konversi serta pelunasan hutang petani telah dapat diselesaikan sesuai rencana (Dirjen Perkebunan, 2009).
Dengan mengacu keberhasilan pola Kemitraan melalui sumber dana KKPA, maka terus berlanjut pola Kemitraan Swadaya dengan sumber dana kredit komersial, dana sendiri, dan atau dana perusahaan inti/perusahaan mitra. Dalam perkembangannya perkebunan kelapa sawit rakyat melalui kemitraan swadaya sudah jauh melampaui pembangunan kebun petani melalui pengembangan kebun plasma pola PIR dan kebun petani melalui pola kemitraan KKPA. Untuk mendorong Perkebunan Besar Swasta Nasional mengembangkan usahanya disediakan fasilitas kredit PBSN I (1977-1981), PBSN II (1981-1986) dan PBSN III (1986-1990). Melalui skim kredit PBSN III berhasil dikembangkan perkebunan kelapa sawit seluas 328.208 Ha dan seluruh realisasi pinjaman kepada Bank telah berhasil dilunasi seluruhnya (Dirjen Perkebunan, 2009).
Dari tabel terlihat bahwa sampai dengan 1979 belum ada usaha perkebunan rakyat dan total area perkebunan baru 257 ribu Ha. Setelah 30 tahun kemudian luas perkebunan kelapa sawit menjadi 7.588 ribu Ha. Hal ini berarti bahwa pertambahan luas areal setiap tahun hampir sama dengan luas areal perkebunan semenjak zaman penjajahan sampai dengan tahun 1979. Kelonggaran penanaman modal asing merupakan keberhasilan pengembangan perkebunan kelapa sawit adalah hasil upaya terencana dengan sumber dana kredit perbankan dalam negeri, peran BUMN Perkebunan serta sektor dunia usaha pada umumnya. Namun di balik keberhasilan tersebut, dikejutkan adanya suasana tidak nyaman yang dapat diartikan seakanakan mengecilkan keberhasilan yang telah dicapai. Suasana tidak nyaman yang dapat dipandang sebagai antiklimaks tersebut ialah ditetapkannya Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 tanggal 26 April 2007 tentang Penanaman Modal dan Peraturan Presiden RI No. 111 tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No. 77 tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka tertanggal 27 Desember 2007, yang isinya tentang kelonggaran pemilikan modal asing yang bisa mencapai maksimal 95%. UU Penanaman Modal No. 25 tahun 2007 pada pasal 22 antara lain menyebutkan kemudahan pelayanan dan atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 huruf a (Hak atas tanah) dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus dan dapat diperbaharui kembali atas permohonan penanaman modal, berupa Hak Guna Usaha (HGU) dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun, dan
dapat diperbaharui selama 35 (tiga puluh lima) tahun. Berkenaan dengan diterbitkannya UU No.25 tahun 2007, Tentang Penanaman Modal ini maka sejumlah LSM mengajukan Uji Materi dari UU ini kepada Mahkamah Konstitusi pada bulan Juli dan Agustus 2007. Berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 21-22/PPU-V/2007, maka pasal 22 ayat (1) huruf a, b, dan c dan ayat (2) dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33 ayat (3) karenanya pasal 22 UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal harus dicabut. Dengan demikian maka pemberian, dan perpanjangan HGU, HGB dan Hak Pakai yang berlaku adalah UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Agraria, dan PP No.
40 tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai. Khusus mengenai Perkebunan berlaku UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan. Berkenaan dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut,
mengenai Peraturan Presiden No. 111 tahun 2007 yang menyatakan bahwa penguasaan modal asing pada usaha budidaya pertanian boleh maksimal 95% seyogianya ditinjau kembali, kalaupun tidak dicabut penguasaan modal asing kembali ke ketentuan sebelumnya yaitu maksimal sebesar 49% (Dirjen Perkebunan, 2009).
Tigapuluh tahun lebih setelah pengembangan PIR hingga sekarang perkembangan perkebunan kelapa sawit masih meningkat secara signifika mulai dari tahun 1967-2010. Luasan total perkebunan sawit pada tahun 1967 adalah 105.808 ha menjadi 7.824.623 ha pada tahun 2010.
 
Gambar. Perkembangan luasan areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia 1967-2010

Sedangkan jika dilihat dari bentuk pengusahaan, perkebunan sawit di Indonesia dari tahun 1967-2010 dikembangkan oleh tiga aktor pengusahaan yakni aktor rakyat, swasta dan BUMN.
 
Gambar. Perkembangan luasan areal perkebunan kelapa sawit berdasarkan tipe pengusahaan tahun 1967-2010

Tahun 1967-1977 pengusahaan kelapa sawit dikembangkan oleh swasta dan BUMN sedangkan perkebunan rakyat belum dikembangan. Usaha perkebunan rakyat mulai dikembangkan pada tahun 1979. Dari tahun 1967-2010 pengusahaan perkebunan sawit yang paling memiliki perkembangan pesat adalah sektor swasta dari luasan 40.235 ha pada tahun 1967 meningkat menjadi 3.893.385 ha pada tahun 2010. Kemudian pada tahun 1979-2010 disusul oleh perkebunan rakyat, dari luasan 3.125 ha pada tahun 1979 meningkat menjadi 3.314.663 ha pada tahun 2010 sedangkan untuk luasan perkebunan sawit yang dikelola oleh BUMN cenderung tetap peningkatan yang terjadi tidak terlalu signifikan yakni 65.573 ha pada tahun 1967 menjadi 616.575 ha pada tahun 2010.
Meningkatnya luasan perkebunan yang diusahakan akan mendorong peningkatan produksi kelapa sawit. Sama halnya dengan luasan produksi kelapa sawit pun meningkat, produksi awal 167.669 ton pada tahun 1967 menjadi 19.844.901 ton pada tahun 2010. Sebenarnya peningkatan produksi dan luasan areal perkebunan kelapa sawit telah banyak diramalkan oleh para pakar, salah satunya dalah Bapak Wayan Susila dari Lembaga Riset Perkebunan, Pada tahun 2004 beliau melakukan analisis terkait prediksi peluang peningkatan produksi dan luasan areal perkebunan sawit dari tahun 2005-2025. Selama selang waktu tersebut beliau meramalkan bahwa peluang usaha perkebunan sawit akan meningkat dari 1.80-2.15 juta ha dengan peningkatan produksi dari 15.78-18.78 juta ton. Kenaikan areal sawit diperkirakan 11 %/tahun, produksi akan meningkat 9.4 %/tahun dan konsumsi pasar domestik dan ekspor juga akan meningkat di 10% sampai 13 % dengan kenaikan pangsa pasar 10-28%. Sedangkan untuk konsumsi crude palm oil (CPO) akan meningkat antara 41.45-44.45 jutan ton, hal ini berkaca pada konsumsi CPO pada tahun 2004 sebanyak 25.67 ton. Selebihnya beliau membagi perkembangan perkebunan kelapa sawit menjadi tiga fase, yaitu: fase pertumbuhan cepat (2005-2010), Fase pertumbuhan (2010-2017) dan fase jenuh (2017-2025) kenaikan pertumbuhan hanya 1.5/tahun.
Berbicara mengenai produksi CPO, memang produksi Indonesia meningkat akan tetapi jika dibandingkan dengan pesaingnya di dunia internasional (Malaysia) Indonesia masih jauh ketinggalan. CPO dari Malaysia lebih kompetitif karena mutu yang dihasilkan lebih baik dan pemerintah Malaysia banyak menerima kemudahan-kemudahan dalam bertransaksi dari Negara pengimpor yang tidak didapatkan oleh Indonesia, akan tetapi hambatan Malaysia ada di sumber daya lahan.

 
 Sumber: data hasil pengolahan

Sumber Bacaan:
Astana, Satria. 2010. (belum cek judul)
[BKPM]. 2012. Peta Peluang Investasi Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit. http://regionalinvestment.bkpm.go.id [11 Mei 2012]
[Direktorat Jenderal Perkebunan]. 2009. Lintasan Tiga Puluh Tahun Pengembangan Kelapa Sawit: Tahapan Perkembangan Perkebunan Kelapa Sawit. Jakarta: Departemen Pertanian. http://ditjenbun.deptan.go.id [21 Mei 2012]
 [Konsultan Sawit Indonesia]. 2012. Sejarah Perkebunan Sawit Di Indonesia. http://konsultasisawit.blogspot.com [21 Mei 2012]
Pahan, Iyung. 2006. Panduan Lengkap Kelapa Sawit: Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Jakarta: Swadaya. http://books.google.co.id [11 Mei 2012]
Risza, Suyatno. 1994. Kelapa Sawit Upaya Peningkatan Produkstivitas. Yogyakarta: Karnisius. http://books.google.co.id [11 Mei 2012].
Susila, WR. 2004. Peluang Pengembangan Kelapa Sawit Di Indonesia: Persfektif Jangka Panjang 2025. Bogor: Lembaga Riset Perkebunan Indonesia.