“Ada dua cara menjalani hidup, yaitu menjalaninya dengan keajaiban-keajaiban atau menjalaninya dengan biasa-biasa saja“ (Albert Einstein). "Jika ingin menjadi seorang peneliti, maka jadilah peneliti yang menapak bumi jangan jadi peneliti yang hanya pintar di atas meja".

Kamis, 31 Maret 2011

TANAMAN INDIGO (Indigofera tinctoria) SEBAGAI PEWARNA ALAMI

 oleh: Anita Hafsari


1.     Perkembangana Bahan Pewarna Alami
Teknologi penggunaan zat pewarna buatan yang "canggih" dan "jitu" dibandingkan dengan teknologi zat pewarna alam nenek moyang kita dahulu, ternyata tidak kalah "canggih" dan "jitu" karena zat pewarna alami menghasilkan produk non karsinogen, ramah lingkungan yang menjadi bahan pertimbangan untuk mencari celah-celah mengatasi krisis moneter yang berkepanjangan (Patmasari, 1999). Pewarna alam mulai bergeser penggunaannya sejak tahun 1800-an, yaitu setelah ditemukannya cara sintesa pewarna secara kimiawi, seperti sintesa indigo pada tahun 1897. Keunggulan dari pewarna sintetis adalah harganya lebih murah karena dapat diproduksi secara masal dan memiliki sifat lebih tahan luntur.
Berkembangnya produksi indigo sintetis menyebabkan penggunaan indigo alam oleh industri tekstil menurun. Tahun 1914 konsumsi indigo alam di dunia hanya 4 %,bahkan dalam industri makanan sekarang ini 90% pewarna yang digunakan adalah pewarna sintetis.
Dewasa ini tuntutan pasar pada pewarna yang digunakan dalam industri makanan,minuman, kosmetika, tekstil dan kerajinan sangatlah terkait dengan keamanan konsumen dan keramahan lingkungan. Pewarna yang diedarkan harus diuji dulu tingkat keamanannya oleh FAO/WHO Codex Alimentarius Commision dan Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA).
Faktor-faktor yang menjadi penilaian bahan pewarna baik ialah penetapan spesifikasi yang jelas, melakukan studi-studi biologis seperti acute toxicity studies, short and long term feeding studies, metabolic studies dan upaya mengetahui kemungkinan pengaruh mutagenic dan reaksi hipersensitifitas.

KERAGAAN USAHA INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU RAKYAT DI KABUPATEN CIANJUR (Studi Kasus di Kecamatan Cibinong Dan Kecamatan Tanggeung)


Kabupaten Cianjur khususnya daerah selatan memiliki potensi cukup besar untuk dikembangkan sebagai industri kayu rakyat. Akan tetapi keberadaan potensi ini sedikit dilirik oleh sebagian kalangan masyarakat Cianjur. Masyarakat Cianjur lebih tertarik kepada industri agrowisata, kerajian rumah tangga dan perdagangan. Untuk mengembangkan industri kayu rakyat di daerah Cianjur perlu dilakukan suatu penelitian mengenai keragaan usaha industri pengolahan kayu rakyat di Kabupaten Cianjur, khususnya Kecamatan Cibinong dan Tanggeung yang dapat memberikan gambaran mengenai karakteristik dan keadaan industri kayu rakyat di wilayah tersebut.
 Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 13 Juli sampai dengan 13 Agustus 2009 dengan objek kajian pengusaha industri kayu rakyat di Kecamatan Cibinong dan Tanggeung. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer didapat melalui wawancara, kuisioner dan pengamatan dilapangan kepada 18 responden yang tersebar pada 3 desa di Kecamatan Cibinong dan 5 desa di Kecamatan Tanggeung. Sedangkan data sekunder diperoleh dari pemerintah Kabupaten Cianjur, pemerintah Kecamatan Cibinong, pemerintah Kecamatan Tanggeng dan Dinas PKT (Perhutanan dan Konservasi Tanah)  Kabupaten Cianjur wilayah selatan.
Industri kayu rakyat di Kecamatan Cibinong dan Tanggeung tergolong kedalam industri kecil, dengan jenis industri penggergajian, mebel, kusen, palet dan industri jasa penggergajian, yang hampir seluruhnya berbentuk usaha perseorangan. Bermodal kecil bersumber dari pribadi,  memiliki jumlah tenaga kerja berkisar antara 3-19 orang dan belum memiliki manajemen perusahaan yang baik. Dalam menjalankan produksinya industri kayu rakyat menggunakan bahan baku kayu jenis albasia, afrika dan mahoni dalam bentuk papan, log dan timpleng. Industri kayu rakyat tersebut memiliki kontinuitas bahan baku yang cukup baik, karena para pengusaha tidak mengalami kesulitan dalam perolehan bahan baku. Akan tetapi memiliki kontinuitas produksi yang tidak kontinu, karena industri kayu rakyat memproduksi produk sesuai dengan pesanan. Produk yang dihasilkan oleh industri tersebut adalah bahan baku palet, papan, kaso, balok, kusen pintu, perabot rumah tangga dan palet untuk dudukan keramik dan batu bata.
Produk yang dihasilkan oleh setiap industri memberikan keuntungan yang berbeda, keuntungan tersebut diketahui dengan perhitungan margin keuntungan perproduk. Produk yang memberi keuntungan besar untuk wilayah Cibinong adalah balok ukuran (8x12)cm dan palet ukuran (10x12)cm. Produk yang memberikan keuntungan besar untuk wilayah Tanggeung adalah meja makan 8 kursi, 4 kursi dan meja makan 6 kursi,  papan (20x3)cm, kusen pintu jati dan dudukan keramik.


Kata kunci : hutan rakyat, keragaan, margin keuntungan, industri kecil

KAJIAN EKONOMI KULIT PULAI (Alstonia Scholaris) SEBAGAI BAHAN BAKU OBAT HIPERTENSI (ANTIHIPERTENSI) DI PROPINSI JAWA TENGAH

 Oleh :
Rachman Effendi dan Anita Hafsari
ABSTRAK
Pulai dikenal denganbaba’an pulai memiliki khasiat sebagai obat (salah satunya obat hipertensi) dan digunakan sebagai bahan baku obat tradisional/jamu. Bahan yang digunakan adalah kulit pulai. Prospek kulit pulai sebagai bahan baku obat hipertensi secara ekonomi belum dapat diketahui. Untuk itu dilakukan kajian secara ekonomi, yang bertujuan untuk melihat prospek pasar kulit pulai sebagai obat hipertensi. Kajian ekonomi ini dilakukan melalui analisis kelayakan usaha dan tata niaga kulit pulai. Kajian dilakukan selama 3 bulan mulai pada bulan Agustus s.d Oktober 2010 di Jawa Tengah.
            Hasil penelitian menunjukan bahwa rantai tataniaga kulit pulai di Jawa Tengah, melibatkan 7 pelaku yaitu masyarakat pengumpul tanaman obat, pedagang pengumpul, pedagang eceran, pedagang besar, industri rumah tangga, industri jamu dan konsumen akhir. Pemasaran kulit terdiri dari 3 saluran yaitu: Saluran 1: masyarakat pengumpul-pedagang pengumpul-pedagang besar-industri jamu-konsumen akhir; Saluran 2: masyarakat pengumpul-pedagang pengecer-industri rumah tangga-konsumen akhir; Saluran 3: masyarakat pengumpul-pedagang pengumpul-industri jamu-konsumen akhir. Dari ketiga saluran pemasaran tersebut, saluran yang paling efisien adalah saluran kedua, dimana farmer share yang dihasilkan lebih tinggi yaitu 80 %, jika dibandingkan dengan saluran lainnya. Hal ini berarti bahwa nilai keuntungan yang didapatkan masyarakat pengumpul tanaman obat sangat tinggi. Sedangkan untuk analisis kelayakan usaha kulit pulai di Jawa Tengah saat ini belum dapat dilakukan mengingat di Jawa Tengah belum ada budidaya tanaman pulai yang khusus untuk memenuhi kebutuhan industri jamu dan konteks masyarakat terhadap pulai masih sebatas kayu, pasokan kulit pulai untuk kebutuhan industri masih berasal dari hutan. Prospek pasar kulit pulai saat ini kurang begitu bagus, mengingat dalam industri jamu kulit pulai hanya berfungsi sebagai pelengkap (dibutuhkan dalam jumlah sedikit), bukan bahan baku utama dan keberadaannya masih dapat digantikan oleh bahan baku lain.

Kata kunci: biofarmaka, hipertensi, kelayakan usaha, pulai dan tataniaga 

Publikasi: Jurnal Hutan Tanamn

PROSPEK PENGEMBANGAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU

Oleh: Anita Hafsari
Hasil hutan bukan kayu (HHBK) adalah sumberdaya hutan yang memiliki keunggulan komparatif dan paling bersinggungan langsung dengan masyarakat sekitar hutan. Hasil hutan bukan kayu merupakan barang yang telah dipungut secara rutin sejak hutan dikenal manusia, manfaatnya untuk berbagai tujuan. Karena itu, hasil hutan bukan kayu telah berperan penting dalam membuka kesempatan kerja bagi anggota masyarakat disekitar hutan, merupakan komoditi perdagangan yang dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat (Djajapertjanda dan Sumardjani, 2001). Sesuai ketentuan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 23, disebutkan bahwa pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Dalam pedoman ini pemanfaatan hasil hutan non-kayu adalah pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) melalui pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan menerapkan prinsip kelestarian dan tetap memperhatikan fungsi hutan. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) dalam pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan tetap memperhatikan fungsi hutan dan aspek kelestarian hutan. Beberapa jenis HHBK mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, antara lain: rotan, madu, kemiri, gaharu, sutera alam, gondorukem, dll. Jenis-jenis tersebut memiliki prospek pasar baik di dalam maupun di luar negeri.
Prospek HHBK dimasa yang akan datang diprediksi akan semakin meningkat seiring dengan adanya batasan pemanenan kayu sebagai komoditi utama hutan. Makalah ini akan menyajikan beberapa hasil penelitian ekonomi terkait dengan hasil hutan bukan kayu (HHBK).  Penyajian makalah ini ditujukan untuk melihat seberapa besar prospek HHBK untuk dikembangkan dan kontribusinya terhadap pendapatan masyarakat, agar dapt menarik minat para masyarakat dalam mengembang usaha pada HHBK.
Produk HHBK yang disajikan terdiri dari 5 komoditas HHBK unggulan nasional (bambu, sutera alam, lebah madu, gaharu dan rotan) dan komoditas unggulan daerah.

KEMITRAAN DALAM PENGUSAHAAN KAYU

      Oleh: Anita Hafsari
Pola Kemitraan pada pengusahaan kayu pada dasarnya sama dengan pola kemitraan pengusahaan lainnya, yang membedakan adalah komoditi/objek yang diusahakan.
Mengacu kepada Undang-undang No. 9 Tahun 1995, pasal 1 tentang kemitraan, kemitraan merupakan kerjasama usaha antara usaha kecil dengan menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan ynag berkelanjutan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Selanjutnya Ian Linton dalam Hakim (www.damandiri.or.id), mengartikan kemitraan sebagai sebuah cara melakukan bisnis dimana pemasok dan pelanggan berniaga satu sama laiinya untuk mencapai bisnis bersama. Kemitraan dalam pengusahaan kayu berarti kerjasama antara pemasok dan pelanggan kayu. Jenis kayu yang diusahakan dapat beragam tergantung kepada jenis pengelolaan dan izin pemanfaataanya.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan, dalam kemitraan bisnis terdiri dari 5 (lima) pola, yaitu
a.    Pola inti plasma
b.    Pola Subkontraktor
c.    Dagang umum
d.    Waralaba
e.    Keagenan
f.     Pola-pola yang berkembang saat ini (bergantung kepada keputusan pemerintah daerah).

KELAYAKAN PENGEMBANGAN BUDIDAYA ROTAN JERNANG (Daemonorops sp.) (Studi Kasus di Desa Lamban Sigatal, Kecamatan Pauh Kabupaten Serolangun-Jambi)

Rachman Effendi, Tati Rostiwati, dan Anita Hafsari

ABSTRAK

Jernang rotan dikenal dengan sebutan “dragon blood” merupakan salah satu jenis hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi sebagai komoditi ekspor dengan daerah penghasil yaitu propinsi Jambi. Adanya pengembangan tanaman kelapa sawit yang sangat ekspansif, menyebabkan potensi produksi rotan jernang semakin menurun. Upaya untuk meningkatkan kembali produktivitas rotan jernang dapat dilakukan melalui kegiatan budidaya rotan jernang dan dikaji secara ekonomi untuk melihat tingkat efisiensinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kelayakan ekonomi budidaya rotan jernang.
Berdasarkan hasil analisis diperoleh NPV, BCR dan IRR masing-masing untuk rotan jernang kualitas 1 sebesar 51.258.856/ha/tahun; 11,9 dan 49% pada tingkat suku bunga 12%, maka rotan jernang kualitas satu (meson) di Desa Lamban Sigatal Kecamatan Pauh Kabupaten Serolangun-Jambi sangat layak untuk dikembangkan. Sedangkan rotan jernang kualitas 2 (Cengkarok) diperoleh nilai NPV, BCR dan IRR masing-masing sebesar Rp. 20.725.284/ha/tahun; 5,4 dan 32%.
Dari informasi diatas, maka budidaya rotan jernang sangat layak dan menarik bagi investor dalam upaya pengembangan HHBK khususnya rotan jernang (Daemonorops sp.) sebagai komoditi ekspor dan mengimbangi laju pertumbuhan tanaman kelapa sawit di provinsi Jambi dan Riau.
Kata Kunci : rotan jernang, budidaya, kelayakan financial, efisiensi, NPV, BCR dan IRR

Catatan: Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional Kontribusi Litbang dalam Peningkatan Produktivitas dan Kelestarian Hutan, 29 November 2010.